A. Sejarah
Suku Aborigin
di Australia mempunyai banyak informasi yang sangat menarik, berawal dengan
Asal kata “ Aborigin” Kata Aborigin dalam bahasa Inggris mempunyai arti
"Penduduk asli/penduduk pribumi", dan mulai digunakan sejak abad
ke-17 untuk mengacu kepada penduduk asli Australia saat itu. Sebutan ini
diambil dari [bahasa latin] ''ab origine'', yang berarti "dari awal"
dan diperuntukan bagi penduduk yang sejak semula tinggal di suatu daerah atau
pulau.[1]
Adapun dalam literature lain, Kata Aborigin memiliki arti ‘paling awal
dikenal’. Mereka memiliki budaya, warisan, dan sejarah yang berbeda dari
kelompok-kelompok lain di seluruh dunia.
Bahasa asli suku Aborigin Australia diketahui tidak terkait dengan salah
satu bahasa di bagian lain dunia. Saat
ini, hanya ada kurang dari 200 bahasa asli Australia yang digunakan. Ahli
bahasa mempelajari bahasa Australia sebagai Pama Nyungan dan non-Pama
Nyungan. Bahasa Pama-Nyungan mayoritas
terdiri dari keluarga bahasa terkait, sedangkan yang tidak berhubungan
dipelajari ahli sebagai bahasa non-Pama Nyungan. Kelompok bahasa tersebut diyakini sebagai
hasil dari kontak yang lama dan intim.
Sebuah fitur umum dari bahasa adalah bahwa mereka menampilkan cara
bicara khusus yang intim digunakan dan hanya digunakan di hadapan kerabat.
Arkeologi menunjukkan Manusia Telah ada di Australia
selama 50.000 Tahun sehingga penduduk asli Australia Ujug salah Satu populasi
tertua di Dunia. Kedatangan pertama bangsa Australia yang paling konservatif
adalah antara 40.000 – 50.000 tahun SM, ini berarti telah ada lebih dari 1250
generasi di Australia. Manusia mencapai [ Tasmania] sekitar 40.000 tahun yang
lalu oleh bermigrasi melintasi sebuah jembatan tanah dari daratan yang ada
selama yang terakhir [zaman es]. Setelah laut naik sekitar 12.000 tahun yang
lalu dan menutupi jembatan tanah penduduk ada terisolasi dari daratan sampai
kedatangan pemukim Eropa. [ Mungo Man], yang masih ditemukan pada [1974] dekat
[ Danau Mungo] di [ New South Wales], adalah manusia tertua yang pernah
ditemukan di Australia. Meskipun usia yang tepat Manusia Mungo dalam [arkeologi Australia di Danau Mungo ],
konsensus terbaik adalah bahwa dia setidaknya 40.000 tahun. Batu alat juga
ditemukan di Danau Mungo telah diperkirakan, berdasarkan menjadi sekitar 50.000 tahun. Karena Danau
Mungo di Australia tenggara, banyak [arkeolog] setelah menyimpulkan bahwa
manusia telah tiba di utara-barat laut Australia setidaknya beberapa ribu tahun
sebelumnya.[2]
Etnik Aborigin, pemukim benua Australia, pada sekitar abad-abad
kedatangan bangsa kulit putih (abad ke 18), diperkirakan berjumlah 300.000
orang. Mereka mendiami pantai-pantai utara dan timur serta lembah sungai Murray dan
sebahagian kecil lainnya berada di Tasmania (Kitley, 1994;362). Tidak ada
penjelasan yang lebih pasti tentang kapan pertama kali orang-orang Aborigin
mulai menempati benua ini, namun yang dapat dipastikan adalah bahwa mereka,
sejauh yang dapat diketahui, merupakan pendatang paling awal di Australia yang
datang dari belahan utara benua ini.
B. Asal Usul Suku Aborigin
a. Bangsa Aborigin
Aborigin merupakan penduduk asli benua Australia. Aborigin Australia
adalah istilah yang umum digunakan untuk merujuk pada orang-orang Aborigin dan
penduduk pulau dari Selat Torres. Penduduk pribumi ini membentuk 2,4% dari
populasi modern Australia. Mereka tinggal di daratan Australia, Tasmania, dan
pulau-pulau sekitarnya. Diyakini suku Aborigin menempati Australia dan pulau
sekitarnya hampir sejak 70.000 tahun yang lalu.
Penduduk pribumi ini berbicara lebih dari 250 bahasa dan dialek yang
berbeda dan dianggap sebagai 20 jenis bahasa di dunia yang terancam punah. [3]
b. Budaya
Aborigin[4]
Etnik
Aborigin yang hidup di Australia ini mengembangkan kebudayaan sendiri
berdasarkan kondisi lingkungan alam di mana mereka hidup. Mereka hidup dengan
cara berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering) dan ini sudah
dipertahankan semenjak beribu-ribu tahun sebelum kedatangan bangsa kulit putih.
Mereka tidak mengenal pertanian, karena, disamping faktor lingkungan alam yang
kurang mendukung untuk diolah menjadi lahan pertanian, juga disebabkan oleh
tidak adanya bibit tanaman untuk pertanian. Kenyataan ini ternyata dapat mereka
pertahankan dalam waktu yang lama, karena cara ini mereka anggap paling
effesien dalam memanfaatkan alam sebagai sumber kehidupan. Orang Aborigin menganggap diri mereka adalah
bahagian dari alam dan semua benda-benda alam seperti binatang dan
tumbuh-tumbuhan, menurut mereka, mempunyai sifat yang sama dengan manusia. Oleh
karenanya dalam tradisi Aborigin sangat dipentingkan menjaga keharmonisan alam.
Dalam mengumpulkan bahan makanan dan berburu mereka selalu menjaga keseimbangan alam serta
mampu memelihara sumber kehidupan. Sehingga dengan demikian persediaan sumber
itu selalu terjamin.
Salah satu budaya
yang terkenal dari suku Aborigin adalah senjata
berburu yang sering mereka gunakan, yaitu Boomerang. Senjata ini sangatlah unik
karena setelah dilempar jauh,dapat kembali lagi, senjata ini sering digunakan
untuk berburu di hutan maupun padang savannah. Dalam kehidupan sehari-hari suku
Aborigin memang di habiskan untuk berburu binatang liar seperti Kanguru
(binatang khas Australia), selain menggunakan Boomerang mereka juga menggunakan
senjata-senjata tradisional seperti tombak dan panah. Di saat musim dingin suku
Aborigin menggunakan pakaian yang terbuat dari kulit kanguru. Bagi orang-orang
Aborigin yang masih hidup secara tradisional, mereka tidak pernah mengenal
bercocok tanam dan memelihara ternak, itulah sebabnya kelompok mereka tidak
pernah pergi jauh dari sumber air maupun sungai. Tempat tinggalnya pun masih bersifat nomanden
atau berpindah-pindah, rumah yang dibuatnya pun sangat sederhana dan hanya
terbuat dari ranting-ranting pohon dan daun-daun yang di susun. Dalam kehidupan bersosial antar suku, sebuah
kelompok Aborigin diketuai oleh seorang pemimpin suku, ketua suku tersebut juga
merangkap jabatan sebagai dukun atau tabib, dan turut memimpin dalam
ritual-ritual adat maupun acara perkawinan.
Suku Aborigin sendiri
terbagi atas banyak kelompok menurut wilayah yang mereka tinggali, diantaranya
adalah Aborigin Bama di wilayah Queensland, Aborigin Koori di wilayah New south
Wales dan Victoria, Aborigin Murri di wilayah Queensland selatan, Aborigin
Noongar di wilayah selatan bagian Australia barat, Aborigin Nunga di wilayah
Australia selatan, Aborigin Anangu di wilayah dekat perbatasan Australia
selatan dan barat, serta Aborigin Palawah yang tinggal di pulau Tasmania.
Komunitas Aborigin terbanyak ialah Aborigin Anangu yang memiliki populasi 32,5%
dari seluruh orang Aborigin di Australia, namun jika dihitung keseluruhan
dengan penduduk Australia suku Aborigin hanya berjumlah 517.000 jiwa dan jika
di persentasi hanya 2,3%.[5]
§
Kontak Budaya Luar
Perkenalan
pertama orang Aborigin dengan dunia luar bukanlah dengan orang kulit putih akan
tetapi dengan orang Indonesia. Menurut Dr. Ian Crawford, kurator antropologi
dan arkeologi Museum Australia Barat, orang Indonesia itu adalah para nelayan
dan pelaut musiman dari Makasar yang mencari tripang di pantai utara Australia,
diperkirakan mereka telah mengenal Australia semenjak abad ke 16
(Kitley,1994,380). Semanjak itu orang-orang Aborigin mulai mengenal dan bahkan
menyerap unsur-unsur budaya luar. Hal ini seperti yang terlihat dalam beberapa
bentuk tradisi budaya seperti seni, musik, keagamaan juga dalam hal perpakaian.
Kontak awal orang-orang Indonesia dengan orang-orang Aborigin ini berawal dari kegiatan pencarian Tripang yang dilakukan oleh pelaut-pelaut Makasar (Bugis). [6]. Kisah pencarian Tripang ini kemudian berlanjut menjadi kontak budaya antara penduduk Aborigin dengan pendatang-pendatang Bugis. Kontak ini berlangsung wajar meskipun kadang-kadang terjadi konflik, namun hubungan-hubungan yang lebih intim tidak jarang juga terjadi di antara mereka. Salah seorang sejarawan Australia, Peter G. Spillet pernah mencatat tidak kurang dari 250 suku kata Bugis Makasar dan Melayu masuk ke dalam perbendaharaan kata orang-orang Aborigin (Kitley,1994;414). Bahkan di beberapa daerah di bahagian utara Australia terdapat nama-nama Makasar, seperti Kayu Jawa (sebutan untuk Kimberley), Teluk Mangko (teluk North West), Teluk Mangngelai (teluk Grays), Kampung Bapa Paso ( Father Nail di pulau Woodah). Kunjungan-kunjungan nelayan-nelayan Bugis ini biasanya hanya di wilayah-wilayah pantai dan menetap untuk beberapa waktu. Persinggahan ini berlangsung sejak lama, hingga pada tahun 1907 dimana pemerintahan Australia melarang masuknya nelayan-nelayan asing ke Australia.
Kontak awal orang-orang Indonesia dengan orang-orang Aborigin ini berawal dari kegiatan pencarian Tripang yang dilakukan oleh pelaut-pelaut Makasar (Bugis). [6]. Kisah pencarian Tripang ini kemudian berlanjut menjadi kontak budaya antara penduduk Aborigin dengan pendatang-pendatang Bugis. Kontak ini berlangsung wajar meskipun kadang-kadang terjadi konflik, namun hubungan-hubungan yang lebih intim tidak jarang juga terjadi di antara mereka. Salah seorang sejarawan Australia, Peter G. Spillet pernah mencatat tidak kurang dari 250 suku kata Bugis Makasar dan Melayu masuk ke dalam perbendaharaan kata orang-orang Aborigin (Kitley,1994;414). Bahkan di beberapa daerah di bahagian utara Australia terdapat nama-nama Makasar, seperti Kayu Jawa (sebutan untuk Kimberley), Teluk Mangko (teluk North West), Teluk Mangngelai (teluk Grays), Kampung Bapa Paso ( Father Nail di pulau Woodah). Kunjungan-kunjungan nelayan-nelayan Bugis ini biasanya hanya di wilayah-wilayah pantai dan menetap untuk beberapa waktu. Persinggahan ini berlangsung sejak lama, hingga pada tahun 1907 dimana pemerintahan Australia melarang masuknya nelayan-nelayan asing ke Australia.
Kedatangan pertama bangsa kulit putih ke
Australia pertama kali dirintis oleh William Jansen dari Belanda. Ia dengan
ekspedisi Duyfken mendarat di Cape York pada tahun 1605. Lebih kurang sepuluh
tahun kemudian menyusul Dirk Hartock yang mendarat di pantai barat Australia.
Abel Tasman mengunjungi Tasmania dan Selandia Baru pada tahun 1642. Sedangkan
pelaut Belanda terakhir yang mencapai Australia adalah Willem de Vlamingh. Ia
mendarat di Perth pada tahun 1696. Pelaut Inggris yang pertama kali mengunjungi
Australia adalah William Dampier. Ia mendarat di pantai barat Australia pada
tahun 1688. James Cook, salah seorang perwira Angkatan Laut Inggris, yang
secara resmi diperintahkan oleh pemerintahan Inggris untuk menemukan "Terra Australis Incognita" suatu daratan luas yang membentang di dekat kutub
selatan. Pada tahun 1769 ia dapat mencapai New Zealand. Dari sinilah pada tahun
berikutnya ia melanjutkan perjalanan ke benua Australia. Ia mendarat di pantai
timur Australia pada tahun 1770, suatu pantai yang sebelumnya tidak pernah
dikunjungi oleh pelaut-pelaut Inggris. Daerah pertama yang dikunjungi itu
kira-kira terletak antara New South Wales dan Victoria sekarang. Daerah ini
pada mulanya dinamakan dengan Stingray Harbour, tetapi kemudian dirobah namanya
menjadi Botany Bay (Siboro,1990;24). Orang Inggris yang pertama kali yang
memberi nama benua baru ini dengan Australia adalah Matthew Flinders, dia
pulalah yang pertama kali berhasil mengelilingi benua Australia pada tahun 1798
dan membuat peta Australia untuk pertama kalinya (Sabari, 1991;71). Kedatangan
orang-orang Eropa ke benua Australia pada awalnya tidak didasari oleh
pengetahuan yang memadai tentang kehidupan masyarakat yang menghuni benua ini.
Mereka mengenal benua ini sebagai "Terra Australis Incognita" atau daratan selatan yang belum dikenal.
Kenyataan ini menjadikan mereka merasa "asing" sewaktu menemukan
penghuni benua ini ; merasa asing ketika melihat pola kehidupan masyarakat di
wilayah ini, dan malah menganggap penduduk asli itu sebagai tidak berbudaya,
kotor dan jorok. Sikap yang
diperlihatkan oleh pendatang-pendatang 'putih' ini telah meninggalkan kesan
awal yang tidak simpati bagi penduduk setempat, mereka antipati dan malah sakit
hati dengan kedatangan bangsa kulit putih ini. Sehingga tidak jarang diantara
kedua suku bangsa ini terjadi konflik-konflik yang tidak habis-habisnya. Pada
saat Inggris mulai menjadikan Australia sebagai wilayah pembuangan para tahanan
mereka, maka dibukalah daerah-daerah koloni baru di benua ini. Yang pertama
dijadikan sebagai koloni tahanan (penal colony) adalah New South Wales.
Di daerah ini dibentuk masyarakat baru yang terdiri dari mayoritas para tahanan
dan bekas tahanan di bawah pimpinan seorang gubernur Inggris pertama di sini
yaitu Arthur Philip. Ia menggerakkan pembangunan koloni baru itu dan dengan
memakai tenaga kerja para tahanan, dibukalah pemukiman-pemukiman baru,
jalan-jalan, lahan-lahan pertanian serta fasilitas-fasilitas umum lainnya.
Keadaan serta suasana pembukaan wilayah pemukiman baru ini telah mengganggu
tatanan kehidupan masyarakat asli (Aborigin). Border-border wilayah suku-suku
mereka yang selama ini dijaga dengan baik menjadi berantakan. Wilayah-wilayah
itu kemudian dikuasai pemilikannya oleh para pendatang secara paksa tanpa
mempertimbangkan keberadaan pemilik awalnya. Seiring dengan pertambahan
penduduk dan bertambahnya jumlah para tahanan Inggeris yang dibuang ke wilayah
ini, maka makin luas pula wilayah-wilayah yang harus dibuka. Ini berarti juga
semakin berkurangnya wilayah-wilayah suku Aborigin. Mereka semakin terdesak ke
wilayah pedalaman. Kehilangan 'tanah suku'
bagi orang Aborigin adalah hal yang paling menyakitkan, karena -seperti sudah
dikemukakan- tanah bagi mereka adalah pusat kehidupan dan bahkan hubungan
mereka dengan wilayah pemukiman lebih dari sekadar tempat tinggal, namun
bersifat spritual (Strelein (ed.),1998;6).
Karena
itu kedatangan orang-orang Eropa serta sikap-sikap mereka dalam penguasaan
wilayah, telah mengobrak-abrik kehidupan orang-orang Aborigin yang selama
ribuan tahun telah berjalan dengan harmonis, daerah perburuan dan sumber makanan
mereka juga semakin sempit dan mereka kehilangan bahagian yang sakral dari
kehidupan mereka. Kenyataan inilah yang untuk masa-masa selanjutnya menjadi
sumber konflik yang berkepanjangan antara penduduk asli dengan
pendatang-pendatang Eropa, bahkan hingga saat ini.
c. Bahasa
Aborigin Australia menampilkan beragam pola pengelompokan
linguistik. Hal ini menampakan adanya variasi prakti-praktik budaya yang
beragam, meskipun terkadang menujukan adanya tanda-tanda kesamaan. Pada data
sensus menunjukan bahwa 72% Aborigin mempraktikan ajaran Kristen meskipun tidak
sama persis, sementara 16% tidak menganut agama apapun. Saat ini terjadi
peningkatan jumlah anggota masyarakat yang mengikuti ajaran Islam. Di antara
suku Aborigin Australia, nilai-nilai religius dan tradisi lisan biasanya
berdasarkan pada penghormatan terhadap pulau dan alam sekitar yang menjadi
tempat tinggal mereka. Pada masa sebelumnya, kelompok yang berbeda menampilkan
budaya, kepercayaan, dan bahasa sendiri.
d. Tradisi
Menurut
tradisi orang-orang Aborigin, tanah adalah merupakan bahagian yang sangat
penting dalam kehidupan mereka. Tanah adalah suatu yang bersifat sakral,
pemilikan atas tanah adalah mutlak untuk menjaga keharmonisan jagad raya.
Sebelum kedatangan orang Eropa, hampir semua daratan Australia telah dipatok
menjadi wilayah-wilayah suci setiap suku Aborigin. Wilayah dan batas-batasnya (border)
mereka ingat dengan baik melalui balada-balada, karena mereka memang tidak
melakukan pencatatan tertulis untuk itu. Di wilayah-wilayah itulah mereka
melakukan segala kegiatan mulai dari berburu, mengumpul bahan makanan dan
melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Setiap border biasanya didiami oleh
satu suku Aborigin yang masing masing memiliki spesifikasi budaya dan bahasa
yang berbeda-beda.
§
Benturan Tradisi
Hadirnya
orang-orang kulit putih di benua Australia tidak saja telah mengacaukan
border-border suku Aborigin, tetapi juga telah memporakporandakan sistem budaya
serta tradisi-tradisi masyarakat pribumi ini. Dalam kehidupan orang Aborigin, antara
pemilikan tanah dengan tradisi budaya dan kepercayaan sangat terkait erat. Oleh
karena itu bilamana salah satunya terganggu berarti akan sangat berpengaruh
terhadap yang lainnya. Kehadiran bangsa kulit putih di wilayah ini, yang
meskipun dengan peradaban yang maju, namun sama sekali tidak membawa dampak
yang baik bagi peradaban masyarakat setempat, setidaknya hal itu menurut
pandangan Aborigin sendiri. Ini sangat mungkin disebabkan oleh
perbedaan-perbedaan pandangan antara kedua suku bangsa yang sangat jauh
bertolak belakang dalam melihat alam serta kehidupan itu sendiri. Perbedaan
pandangan ini telah menjadi sumber ketegangan-ketegangan antara kedua belah
pihak yang pada dasarnya menyulut konflik-konflik yang tak terselesaikan. Akar
dari semua itu adalah benturan-benturan tradisi yang berseberangan serta
prilaku-prilaku yang kurang akomodatif dari pendatang terhadap keberadaan
tradisi masyarakat yang telah mapan di wilayah ini. Benturan yang dimaksudkan
adalah sikap-sikap budaya yang kontradiktif antara kedua suku bangsa ini,
seperti dalam memandang 'tanah'. Orang-orang Aborigin cendrung melihat dan
memperlakukan tanah sebagai bahagian dari kehidupan mereka dan malah dianggap
sakral. Tanah harus dijaga kelestarian dan keberlangsungan produktifitasnya dengan
tidak merusaknya. Sementara pandangan Eropa terhadap tanah sebagai suatu unit
produksi bagi kehidupan mereka yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin tanpa
mempersoalkan keseimbangan ekologinya.
Benturan
ini juga terlihat dari sistem pemilikan. Dalam masyarakat Aborigin secara
tradisional berlaku sistem pemilikan bersama (common ownership) terhadap tanah
dan hasil produksinya seperti hasil buruan dan makanan. Sedangkan sistem
pemilikan dalam masyarakat Eropa, seperti yang juga dianut oleh pendatang putih
ini adalah pemilikan perorangan (individual ownership).
Benturan-benturan tradisi yang kontradiktif ini lebih dilengkapi lagi dengan
perbedaan rasial antara kedua suku bangsa serta perasaan superioritas barat
yang dimiliki oleh orang-orang Eropa yang memandang kehidupan timur sebagai
kehidupan yang terkebelakang, seperti kesan awal yang mereka dapatkan pada saat
pertama kali datang ke wilayah ini. Kenyataan-kenyataan itu telah menciptakan
jurang yang dalam pada proses assimilasi kedua budaya tersebut. Malah dalam
perkembangannya telah melahirkan konflik-konflik yang panjang dan sukar untuk
dapat disatukan dalam kehidupan bersama yang harmonis.
§ Diskriminasi Rasial
Semenjak
kedatangan orang-orang Eropa ke wilayah Australia hingga saat terbentuknya koloni-koloni
tahanan sampai pada terbentuknya pemukiman-pemukiman baru orang-orang Eropa,
yang dialami oleh orang-orang Aborigin tidak lebih hanyalah penggerogotan
hak-hak mereka. Sumber alamnya dikeruk, namun kehidupan mereka makin terisolir
ke wilayah pedalaman atau didesak untuk hidup dalam koloni yang berkembang
tetapi dengan perlakuan-perlakuan yang diskriminatif. Jumlah
penduduk negara Australia pada waktu-waktu terakhir ini sebanyak lebih kurang
21 juta jiwa. Diantara jumlah itu hanya 460.000 orang penduduk asli (Aborigin).
Jumlah itu hanya mengalami kenaikan sekitar 50 porsen dari jumlah Aborigin pada
saat kedatangan orang-orang Eropa. Ini artinya merupakan gambaran yang buruk
bagi pertumbuhan suatu populasi, hal ini sekaligus juga memperlihatkan betapa
pola kehidupan bersama dalam masyarakat Australia terdapat ketidak seimbangan
hak antara orang-orang kulit putih dengan penduduk asli, terutama dalam
perlakuan-perlakuan, sikap-sikap dan sebagainya yang ditunjukkan oleh
pemerintahan. Kalaupun kesempatan pekerjaan diberikan kepada mereka, itupun
terbatas pada lapangan pekerjaan rendahan dengan upah yang sangat rendah pula.
Pengalaman-pengalaman yang panjang dengan keadaan yang
disebutkan, telah membisikkan rasa ketidakadilan ke telinga mereka. Kenyataan
itu pulalah yang menyebabkan komunikasi antara orang-orang Aborigin dengan
orang-orang Eropa menjadi sangat terganggu, baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari, meskipun Kantor Urusan
Penjajahan di London telah menginstruksikan agar hak-hak orang Aborigin harus
dijaga sesuai dengan hak-hak yang didapat oleh orang-orang Inggeris
(Kitley,1994;353). Hal itu ternyata tidak mempengaruhi hubungan kedua belah
pihak. Kehidupan Aborigin semakin jauh terpisah dengan kehidupan orang-orang
Eropa modern. Reaksi-reaksi yang mereka lakukan terhadap orang Eropa semakin
memperlihatkan rasa ketidak adilan yang mereka terima. Mereka melakukan
perang-perang gerilya dan membunuhi hewan-hewan peliharaan musuh
Apa yang digambarkan diatas belumlah
seberapa dibandingkan dengan nasib yang mereka terima pada saat mereka diusir,
dibunuh dan dipreteli hak-hak hidupnya. Setidaknya sampai tahun 1967, kehidupan
suku-suku Aborigin makin terisolir dari kehidupan masyarakat Eropa di wilayah
ini, bahkan keberadaan mereka tidak dianggap sebagai warga negara Australia dan
tidak masuk dalam konstitusi. Kemudian atas desakan orang-orang Aborigin dan
sebahagian orang Eropa yang sadar, maka diadakanlah referandum untuk mengubah
konstitusi yang menyangkut hak-hak Aborigin. Akhir tahun itu dibentuklah Kantor
Urusan Aborigin untuk merumuskan hal hal yang selayaknya dilakukan pemerintah
untuk memperbaiki keadaan. Namun upaya itu tidak memperlihatkan hasil yang
menggembirakan. Reaksi menolak upaya ini justru muncul dari pemerintahan
wilayah Queensland, di mana orang-orang Aborigin lebih banyak hidup dengan
perlakuan-perlakuan yang tidak wajar. Pemerintahan wilayah ini ingin
mempertahankan kekuasaan kolonialnya yang rasial. Bahkan di negara bahagian ini
pernah muncul gagasan diskriminatif etnis terhadap Aborigin untuk mengisolasi
mereka ke salah satu wilayah di pantai barat laut Australia. Sehingga dengan
demikian lebih mudah mengendalikan dan menjalankan kebijaksanaan terhadap
mereka. Sementara itu kaum peranakan Aborigin yang hidup ditengah-tengah bangsa
kulit putih harus disterilkan (Kitley,1994;394), sehingga dengan demikian
populasi mereka di tengah-tengah masyarakat kulit putih dapat dihambat.
Gambaran
diatas belumlah seberapa dibandingkan dengan nasib yang mereka terima pada saat
mereka diusir, dibunuh dan dipreteli hak-hak hidupnya. Setidaknya sampai tahun
1967, kehidupan suku-suku Aborigin makin terisolir dari kehidupan masyarakat
Eropa di wilayah ini, bahkan keberadaan mereka tidak dianggap sebagai warga
negara Australia dan tidak masuk dalam konstitusi. Kemudian atas desakan
orang-orang Aborigin dan sebahagian orang Eropa yang sadar, maka diadakanlah
referandum untuk mengubah konstitusi yang menyangkut hak-hak Aborigin. Akhir
tahun itu dibentuklah Kantor Urusan Aborigin untuk merumuskan hal hal yang
selayaknya dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan. Namun upaya itu
tidak memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Reaksi menolak upaya ini justru
muncul dari pemerintahan wilayah Queensland, di mana orang-orang Aborigin lebih
banyak hidup dengan perlakuan-perlakuan yang tidak wajar. Pemerintahan wilayah
ini ingin mempertahankan kekuasaan kolonialnya yang rasial. Bahkan di negara
bahagian ini pernah muncul gagasan diskriminatif etnis terhadap Aborigin untuk
mengisolasi mereka ke salah satu wilayah di pantai barat laut Australia.
Sehingga dengan demikian lebih mudah mengendalikan dan menjalankan
kebijaksanaan terhadap mereka. Sementara itu kaum peranakan Aborigin yang hidup
ditengah-tengah bangsa kulit putih harus disterilkan (Kitley,1994;394),
sehingga dengan demikian populasi mereka di tengah-tengah masyarakat kulit
putih dapat dihambat. Penuntutan hak-hak Aborigin mulai dilancarkan kepada
pemerintahan Australia secara resmi pada tahun 1971, pada saat orang-orang
Aborigin mendirikan tenda di depan gedung Parlemen Nasional Australia sebagai
Kedutaan Besar mereka. Inti dari tuntutan itu pada dasarnya ialah pengakuan
atas penderitaan masa lalu mereka atas perlakuan orang-orang kulit putih.
Hak-hak mereka atas tanah yang telah diobrak abrik dan dipreteli serta
kehidupan suku-suku Aborigin yang dalam prakteknya selalu didiskriminasi. Oleh
karenanya yang sangat diidamkan oleh orang-orang Aborigin pada dasarnya
bukanlah persamaan hak dengan orang-orang Eropa dalam hal kesempatan kerja dan
perolehan pendapatan dari hasil produksi semata, akan tetapi pengembalian hak
atas tanah mereka, sehingga keberlanjutan tradisi Aborigin dapat tetap
terpelihara. Namun hingga saat ini apa yang diimpikan itu masih jauh dari
harapan. Sehingga kehidupan Aborigin di wilayah mereka seperti tersisih.
e. Sistem Kepercayaan dan Ajaran
Dreamtime atau Masa Impian
adalah ‘masa sebelum waktu’ penciptaan dunia yang sakral. Menurut
kepercayaan Aborigin, para leluhur roh totem muncul dari bumi dan turun dari
langit untuk membangunkan sebuah dunia yang gelap dan sunyi. Mereka menciptakan
matahari, bulan dan bintang, membentuk gunung, sungai, pohon dan mata air, lalu
berubah menjadi manusia dan hewan. Para leluhur roh ini menghubungkan
masa lalu purba dengan masa sekarang dan masa depan melalui segala aspek budaya
Aborigin.[8]
Orang-orang
Aborigin memiliki sistem kepercayaan "dream time". Mereka percaya kepada arwah
nenek moyang dan percaya kepada kekuatan-kekuatan magic yang dimiliki oleh alam
terutama binatang. Disamping itu mereka juga dikenal sebagai pembuat obat yang
diolah dari sumber-sumber alam. Hidup orang-orang Aborigin dikenal sebagai
serba upacara. Hal itu mereka anggap penting dalam setiap pelaksanaan pekerjaan
seperti perkawinan, kematian, kelahiran dan sebagainya. Peranan orang tua
sangat menentukan dalam sistem kehidupan orang-orang Aborigin. Dewan Orang Tua (Council of
Elders) berperan terutama dalam menentukan perang antar suku, upacara
kelahiran, sunatan (inisiasi), keuntungan, pembagian makanan dan upacara
kematian. Nuansa sakral sangat dominan terlihat dalam kesenian Aborigin. Hal
ini dibuktikan dengan ragam kesenian visual yang
dihasilkan seperti lukisan, cukilan,
goresan dan kerajinan menjalin serat (Kitley, 1994;391). Kebanyakan ekspressi
kesenian itu dihubungkan dengan arwah para leluhur mereka. Cukilan pada batu
dan kayu merupakan peninggalan kesenian dekoratif tertua seperti yang terdapat
di kepulauan Melville dan Bathrust yang digunakan untuk dekorasi-dekorasi
makam. Orang-orang Aborigin juga sangat dikenal dengan lukisan mereka. Yang
paling spesifik dari lukisan itu adalah media lukis yang digunakan yaitu zat
pewarna yang alamiah. Pewarna ini mereka olah sendiri dengan menggunakan
bahan-bahan murni dari alam (terutama tumbuh-tumbuhan).
f. Rituala Adat Aborigin
Sebenarnya Suku Aborigin memiliki banyak ritual dalam kehidupannya,
namun ada dua hal yang sangat sakral dan menonjol yaitu sebagai berikut :
§
Pemakaman[9]
Suku Aborigin memiliki metode tersendiri tentang tatacara prosesi kematian. Mereka mempunyai metode utama menguburkan orang mati dengan cara di makamkan di atas pohon (tree burial) Dalam kebudayaan suku Aborigin Australia, untuk menghormati siklus kehidupan mereka melakukan upacara pemakaman dengan menaruh jasad dari orang yang sudah meninggal diatas pohon-pohon besar. Upacara ini disertai dengan tari-tarian untuk membuat arwah orang yang meninggal tenang. Setelah beberapa bulan bahkan tahun, tulang ini akan diwarnai dan digunakan untuk upacara sakral untuk menghormati arwah nenek moyang mereka.[10]
Suku Aborigin memiliki metode tersendiri tentang tatacara prosesi kematian. Mereka mempunyai metode utama menguburkan orang mati dengan cara di makamkan di atas pohon (tree burial) Dalam kebudayaan suku Aborigin Australia, untuk menghormati siklus kehidupan mereka melakukan upacara pemakaman dengan menaruh jasad dari orang yang sudah meninggal diatas pohon-pohon besar. Upacara ini disertai dengan tari-tarian untuk membuat arwah orang yang meninggal tenang. Setelah beberapa bulan bahkan tahun, tulang ini akan diwarnai dan digunakan untuk upacara sakral untuk menghormati arwah nenek moyang mereka.[10]
§
Sunat[11]
Ritual Sunat Suku Mardudjara suku Aborigin Australia. Ritual sunat bagi suku Mardudjara agak sedikit berbeda dari biasanya. Ketika para pemuda suku Mardudjara sudah mendekati umur dewasa, para pemuda tersebut di haruskan bersunat, yaitu sekitar umur 15 - 16 tahun. Dalam ritual sunat ini sang pemuda ditelentangkan di dekat api unggun, kemudian dada si pemuda tersebut di duduki oleh kepala suku dengan menghadap ke arah kemaluan si pemuda tersebut. Kemudian kulit kemaluannya di potong dengan menggunakan pisau yang sudah dijampi-jampi. Setelah proses pemotongan tersebut selesai si kepala suku memerintahkan si pemuda untuk membuka mulut dan kemudian si pemuda di haruskan menelan kulit kemaluannya sendiri tanpa harus dikunyah.
Ritual Sunat Suku Mardudjara suku Aborigin Australia. Ritual sunat bagi suku Mardudjara agak sedikit berbeda dari biasanya. Ketika para pemuda suku Mardudjara sudah mendekati umur dewasa, para pemuda tersebut di haruskan bersunat, yaitu sekitar umur 15 - 16 tahun. Dalam ritual sunat ini sang pemuda ditelentangkan di dekat api unggun, kemudian dada si pemuda tersebut di duduki oleh kepala suku dengan menghadap ke arah kemaluan si pemuda tersebut. Kemudian kulit kemaluannya di potong dengan menggunakan pisau yang sudah dijampi-jampi. Setelah proses pemotongan tersebut selesai si kepala suku memerintahkan si pemuda untuk membuka mulut dan kemudian si pemuda di haruskan menelan kulit kemaluannya sendiri tanpa harus dikunyah.
g . Seni dan
Lukisan Aborigin Australia
Kebudayaan Australia kaya akan tradisi seni Aborigin. Bentuk kesenian
Aborigin mengingatkan kembali ke masa lebih dari ribuan tahun yang lalu. Seni
pahat batuan dan lukisan kulit kayu yang menampilkan kehidupan Aborigin yang
selaras dengan alam. Hubungan anatara masyarakat Aborigin dan lingkungannya
paling terlihat dalam penggunaan warna alami dalam lukisan yang sebagian besar
terbuat dari oker (0cher).
·
Ada
beberapa ajang dan festival Aborigin di Australia, seperti :
ü Festival Yabun
ü Saltwater Freshwater
ü Festival Spirit
ü Festival Yalukit Willam Ngargee Indigenius
Art & Cultural
ü Message Sticks
ü Ord Valley Muster
ü Laura Aboriginal Dance
ü Festival Mowanjum
ü Walking With Spirit
ü Darwin Aboriginal Art Fair
ü Cairns Indigenous Art Fair
ü Gunbalanya ‘Stone Country’
ü Aboriginal and Torres Strait Islander
Art Award
ü Alice Desert Festival
ü Desert Mob, dll
Seni Cadas, kerajinan dan lukisan kulit pohon
mengungkap kisah-kisah Masa Impian ini, menandai batas-batas kawasan dan
mencatat sejarah, sedangkan lagu-lagu berkisah tentang perjalanan Masa Impian,
secara lisan memetakan sumber-sumber air dan tanda-tanda alam yang penting
lainnya. Lirik-lirik khusus di dalam lagu ini telah diturunkan nyaris tak
berubah dari generasi ke generasi selama lebih dari 50.000 tahun, dan sering
kali diiringi clapstick atau dentaman rendah dari didgeridoo. Demikian
pula, tari-tarian tradisional mengungkap mitos-mitos penciptaan, menampilkan
lakon para pahlawan di Masa Impian, dan bahkan kejadian-kejadian bersejarah
yang baru terjadi.
B. Perkembangan
§
Multikulturalisme
Kedatangan bangsa kulit putih di benua Australia
telah membawa implikasi-implikasi terhadap tatanan tradisional etnik pemukim
asli, sebagaimana telah dikemukakan pada tulisan terdahulu. Akan tetapi
eksploitasi terhadap
sumber kekayaan alam yang berlangsung kemudian telah memunculkan
perubahan-perubahan besar dalam berbagai lapangan kehidupan. Dengan dibukanya ladang-ladang emas di daerah-daerah
pertambangan seperti di Victoria, New South Wales dan Australia Barat, telah
meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Seiring dengan meningkatnya
pendapatan perkapita penduduk, kemampuan daya beli masyarakat tentunya
bertambah yang berakibat terhadap peningkatan import ke wilayah ini. Ini
berarti bertambah pula income negara dari sektor impor itu.
Peningkatan-peningkatan income negara telah memberi peluang untuk dibangunnya
secara efektif sarana-sarana perekonomian seperti transportasi, sarana
pendidikan, jalan-jalan dsb. Jalan kereta api dari Melbourne ke William Town
dibangun pada tahun 1854, setahun setelah itu dibangun pula jalan kereta api
yang menghubungkan wilayah pedalaman Sydney. Efektifitas pembangunan sarana
transportasi ini sekaligus juga membawa dampak terhadap intensifnya eksploitasi
sumber daya alam lainnya terutama pertanian. Dampak penemuan
emas ini ternyata juga berpengaruh pada peningkatan imigran yang datang ke
Australia, seperti dari Cina, Asia, Jepang dll. Dengan demikian pertumbuhan
penduduk semakin meningkat pesat. Imigrasi tidak hanya berdampak terhadap
pertambahan jumlah penduduk, akan tetapi juga semakin beragamnya ras dan budaya
yang terdapat di Australia. Akibat dari ini semua adalah timbulnya perpecahan
dikalangan masyarakat, terutama antar ras, seperti pengalaman-pengalaman di
beberapa tambang Victoria pada tahun 1957. Pada tahun itu jumlah orang Cina di
sini mencapai 23.623. Jumlah ini sangat mengkhawatirkan orang-orang Eropa.
Kekhawatiran ini lah yang menyebabkan parlemen Victoria dan New South Wales
akhirnya mengesahkan undang-undang untuk membatasi masuknya orang-orang Cina
(cf. Manning Clark,1981,Chpt.7).[12]
Dengan semakin heterogennya masyarakat yang
disertai meningkatnya mobilitas sosial dan taraf pendidikan mereka, pada
akhirnya menimbulkan implikasi-implikasi terhadap munculnya kesadaran politik
warga negara. Warga imigran makin menyadari hak-hak politiknya. Mereka enggan
membayar pajak tanpa melalui persetujuan dari perwakilannya di Parlemen. Hal ini
pada akhirnya mempengaruhi kebijaksanaan dan konstitusi pemerintahan Australia,
seperti pengangkatan anggota upper house dari orang-orang kaya, pemilik tanah dan
orang-orang yang berpendidikan. Sementara itu para pemilik tanah dan golongan
konservatif menuntut agar konstitusi mencerminkan kepentingan-kepentingan besar
dalam masyarakat. Tuntutan inipun akhirnya disetujui parlemen. Berkaitan dengan hal yang dikemukakan itu, terjadi pula beberapa pemberontakan seperti Ballarat dengan Eureka Stockade. Meskipun
pemberontakan ini mengalami kegagalan, namun pemerintahan Inggris akhirnya
membentuk sebuah parlemen di Victoria atas dasar pemungutan suara. Pembentukan
parlemen ini mendorong koloni-koloni lainnya untuk berusaha memisahkan diri
dari pemerintahan pusat. Ini menjadi persoalan-persoalan yang tidak mudah dalam
mewujudkan sebuah republik yang bersatu.Pandangan Geoffrey Dutton mengenai
"Republik Australia" dapat ditangkap melalui artikelnya yang dimuat
dalam buku yang diedit oleh Arnold cs. sebagai berikut : setidaknya apa yang
menggejala dalam kehidupan masyarakat Australia saat ini adalah ketidaksenangan
terhadap pemerintahan Inggris. Ia menegaskan bahwa tidak semua orang menganggap
bahwa Inggris adalah “rumah”, suatu bukti bahwa Inggris tidak lagi dapat
menawarkan kekuatan militer bagi Australia demikianpun kekuatan ekonomi, moral
dan budaya. Kewibawaan Ratu Inggris mulai pudar dikalangan rakyat Australia.
Menurutnya sikap kolonial hanya diperlihatkan oleh manifestasi kebudayaan lama
dan absurd. Dari apa yang kita tangkap dalam tulisan Dutton ini ialah sikap
mendukung terhadap keharusan Australia menjadi sebuah republik, namun begitu
komplitnya masalah Australia, ia meragukan akan terwujudnya Republik Australia.[13]
Multikulturalisme, kemudian menjadi gagasan yang muncul untuk mengatasi heterogenitas etnis yang terdiri dari berbagai etnis dengan latar belakang budaya yang berbeda. Upaya untuk penyatuan pola budaya ini semula sudah dirintis melalui gagasan asimilasi dan integrasi dalam rangka mencegah perpecahan antar etnis di Australia. Akan tetapi kemudian gagasan ini mendapat tantangan dari berbagai fihak terutama pihak politisi sayap kanan. Gagasan multikulturalisme yang kemudian diperkenalkan, dalam konteks yang sesungguhnya adalah legitimasi hak atas berkembangnya berbagai kultur di Australia secara sama. Namun dalam prakteknya gagasan multikulturalisme ini hanya menekankan aspek kultural semata tanpa dibarengi dengan pandangan yang sama terhadap kesempatan kerja. Sehingga, gagasan ini, oleh sementara pihak hanya dianggap sebagai upaya radikal untuk mempromosikan kepentingan etnis tertentu saja. Pada akhir tahun 1940an, ketika Australia membuka pintunya terhadap para imigran-imigran non British dan mengizinkan mereka tinggal dan menetap, beberapa persyaratan ditetapkan untuk mengasimilasikan mereka agar menjadi warga Australia yang sesungguhnya dan dapat melupakan kebudayaan asli mereka. Ketika imigran-imigran pertama yang berasal dari Itali dan Greek pada akhir tahun 1940 masuk ke Australia, mereka mengalami diskriminasi rasial dari orang-orang Inggris dan Irlandia. Para imigran ini mencoba untuk menguasai bahasa Inggeris serta meniru pola hidup orang Australia. Ini dianggap suatu cara asimilasi yang kemudian sangat bermanfaat ketika kebijakan White Australia dijalankan, namun tidak demikian halnya dengan asimilasi untuk imigran dari Asia dan Afrika karena perbedaan fisik mereka dengan orang Australia sangat menonjol Setelah Perang Dunia Kedua, karena pertimbangan-pertimbangan pertahanan Australia, maka kebijaksanaan White Australia ditinjau kembali.
Hubungan-hubungan
negara di Asia Tenggara dan samudra Pasifik berubah secara drastis dengan
mundurnya angkatan laut Inggris dari sana dan munculnya negara-negara yang
mungkin akan membahayakan sistem perdagangan Australia sendiri. Banyak negara
yang kemudian memprotes kebijaksanaan White Australia yang berdasarkan konsep white rasism itu.
Australia akhirnya tidak dapat mengabaikan protes-protes itu (Yarwood, A.T.
& M.J. Knowling 1982:286-7). Ketika terjadi perdebatan dalam dalam parlemen
Australia tentang masalah dibuka atau tidaknya pintu bagi para imigran kulit
berwarna, terdapat oposisi-oposisi yang keras. Oposisi muncul dari anggota
parlemen yang menolak kehadiran bangsa kulit berwarna, karena menganggap
terlalu sulitnya penyesuaian imigran yang berasal dari latar belakang sosial
yang berbeda dalam kondisi Australia. Pada tahun 1966 pemerintah Australia mengubah
kebijaksanaan imigrasi yang memungkinkan orang-orang non-Eropa dapat memperoleh
izin untuk tetap tinggal di Australia, namun ketika pada tahun 1970an masuk
para imigran dari Asia, ternyata mereka tidak disambut dengan hangat oleh
masyarakat Australia, karena, disamping perbedaan fisik yang sangat menonjol,
juga latar balakang budaya dan pola hidup yang sangat berbeda. Kenyataan inilah
yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan asimilasi pada dasarnya tidak bermanfaat
banyak bagi para imigran Asia dan Afrika hitam.
Ketika Gough Withlam terpilih sebagai perdana
menteri Australia pada tahun 1972, ia mencoba untuk menghapuskan konsep
asimilasi berdasarkan white Australia untuk kedamaian dan kesejahteraan negara dan atas
nama kebenaran. Untuk upaya ini ia mengangkat Al Grassby sebagai Menteri
Imigrasi dan kepala Komisi Hubungan Masyarakat. Withlam menyediakan pendidikan
bahasa Inggris untuk para imigran dalam rangka membantu mereka dalam pergaulan
sehari-hari. Melalui pemerintahan Withlam konsep multikulturalisme
diperkenalkan sebagai tindakan konstruktif untuk pencapaian identitas baru
masyarakat Australia. Pada tahun 1978 Galbally
Report menyarankan prinsip-prinsip dasar kebijaksanaan
multikulturalisme yang sampai saat ini masih diperpegangi. Pertama,
ditekankan agar kesempatan yang sama harus diberikan kepada semua orang untuk
merealisasikan potensinya. Kedua, setiap orang harus dapat menjaga kebudayaan mereka
tanpa mengalami prasangka apapun. Ketiga, kursus-kursus dan pelayanan-pelayanan khusus
harus dipersiapkan untuk para imigran sambil kebutuhan jangka pendek mereka
diberikan. Keempat, Semua program yang dibentuk untuk para dengan
konsultasi para imigran tersebut. Selama empat tahun pertama pemerintahan Hawke
(1983-1987) konsep multikulturalisme tidak berjalan baik.
Namun pada
tahun 1987, Hawke mendirikan Office of Multicultural Affair (OMA) dan berada di bawah Departemen Perdana
Menteri. Melalui Badan ini dikembangkan konsep-konsep multikulturalisme secara
lebih mendalam dan menekankan batasan-batasan konsep itu serta ide Australia
sebagai suatu unsur unifikasi. Dengan begitu imigran-imigran diharapkan
memberikan loyalitasnya terhadap Australia. Bahkan OMA, melalui agenda
nasionalnya menjelaskan dan mempertajam defenisi multikulturalisme sebagai
suatu istilah yang menggambarkan diversitas budaya dan etnik dalam Australia
Baru (Londom,1992:93).
Tiga acuan yang dirumuskan Hawke dalam membatasi konsep multikulturalisme, yaitu : pertama, semua orang boleh mengekspressikan warisan
kebudayaan nenek moyang mereka, asalkan tidak bertentangan dengan hukum yang
ada. Kedua, semua masyarakat Australia berhak atas keadilan
sosial tanpa melihat warna kulit, bahasa, agama serta keturunan, dan ketiga,
effesiensi ekonomi yang mengandung keperluan untuk meneruskan dan mengembangkan
serta menggunakan semua potensi-potensi komunitas baru Australia. Dalam halaman pertama National Agenda, terlihat
jelas interpretasi Hawke tentang kesatuan Australia dengan konsep
multikulturalismenya, yaitu : pertama, “multicultural policies are based on the permise
that all Australians future first and foremost”, kedua,“multicultural
policies require all Australians to accept the basic structures and principles
of Australian society – the constitution and the rule of law, tolerance and
equality, parliamentary democracy, freedom of speech and religion”.(etc.),
dan ketiga,multicultural policies impose obligation as well as confering
rights : the right to express one’s own culture and beliefs involves and
reciprocal responsibility to accept the right of others to express their view
and values” (Matin,Jean,1981:145).
Artinya : "Kebijakan multikultural
didasarkan pada permise bahwa semua masa depan Australia pertama dan
terutama", kedua, "kebijakan multikultural mengharuskan semua warga
Australia untuk menerima struktur dasar dan prinsip-prinsip masyarakat
Australia - konstitusi dan aturan hukum, toleransi dan kesetaraan, demokrasi
parlementer ., kebebasan berbicara dan agama "(dll), dan jumlah SIBOR,
kebijakan multikultural memberlakukan kewajiban serta hak confering: hak untuk
mengekspresikan budaya sendiri dan keyakinan melibatkan dan tanggung jawab
timbal balik untuk menerima hak orang lain untuk mengekspresikan pandangan
mereka dan nilai "(Matin, Jean, 1981:145).
§ Beberapa Implikasi Multikulturalisme
Sebagaimana
telah dikemukakan, munculnya gagasan multikulturalisme di Australia didorong
oleh berbagai motivasi, salah satunya yang terpenting adalah karena terus
mengalirnya para imigran dari negara-negara tetangga Asia, namun kebijaksanaan
ini memunculkan reaksi-reaksi dari kalangan Anglo-Australian yang ingin
mempertahankan bentuk masyarakat yang homogen. Menurut mereka, dengan
diterapkannya kebijaksanaan ini, berarti terancamnya hegemoni unsur-unsur
kebudayaan Anglo di Australia. Yang lebih ekstrim lagi adalah pandangan mereka
bahwa multikulturalisme telah menghancurkan kebudayaan nasional.
Keluhan-keluhan seperti ini secara tidak langsung telah mendorong munculnya
perasan dislokasi, bahkan menumbuhkan gejolak rasisme, terutama di kalangan
orang-orang Anglo Australia yang merasa kehilangan hegemoni identitas dan
kebudayaan. Di kalangan imigran juga muncul berbagai reaksi atas kebijakan
multikulturalisme karena dalam prakteknya multikulturalisme menekankan pada
etnisitas. Banyak kalangan yang menganggap bahwa multikulturalisme sebagai
semboyan kosong yang justru bersifat rasisme struktural terutama terlihat dari
prilaku ekonomi dan pasar tenaga kerja.
Kenyataan kontradiktif pelaksanaan kebijakan
multikulturalisme juga terlihat dari kelompok masyarakat asli “Aborigin”.
Pengalaman- pengalaman pahit yang dialami oleh penduduk asli ini semenjak
mereka kehilangan tanah-tanah mereka seperti white Australian policy,
assimilasi, hingga multikulturalisme, menjadikan mereka kehilangan kepercayaan
terhadap negara dan pemerintahan Australia sendiri. Mereka merasa bahwa
berbagai kebijakan yang diterapkan tidak lain hanyalah upaya kontrol sosial
terhadap kebudayaan mereka. Posisi Aborigin pada akhirnya merupakan dilema
tersendiri dalam kebijakan multikulturalisme. Oleh karena itu di tingkat
birokrasi dibentuk Aboriginal Reconsiliation Council yang bekerja sama dengan The National Multicultural Advisory Council. Di sini,
penekanan diberikan kepada ‘cultural diversity’dari pada
multikulturalisme, dengan harapan hal ini akan lebih mudah diterima. Namun yang
paling dirasakan dalam penerapannya ialah tidak adanya upaya anti rasisme yang
serius, terutama dalam mengatasi diskriminasi rasial yang berlaku dalam segala
tingkatan masyarakat.
C. Kesimpulan
Ragam budaya menjadikan kita tahu akan sesuatu
sejarah panjang yang tidak bisa dihilangkan atau dihapuskan, bangsa asli kulit
hitam Aborigin di Australia ini menjadi saksi bahwasanya sejarah tidak akan
pernah bisa di musnahkan walau zaman yang semakin canggih melanda negrinya
mereka dengan segala keyakinan nya mempertahankan kebudayaan dan tradisi asli
sampai akhir hayatnya.
Aborigin adalah sebuah kelompok masyarakat yang
memeiliki banyak misteri keindahan tersendiri dari segi kepercayaannya yang
masih animisme, praktek kegamaan seperti Sunat, dan pemakamannya yang berbeda
juga kebudayaan dan seni yang sangat unik yang sudah semestinya dapat dilestarikan
agar tidah punah begitu saja oleh penguasa zaman.
[2] [Http://www.nature.com/nature/journal/v421/n6925/abs/nature01383.html]
.
[3] Black War; The Destruction of Tasmanian Aborigines. Runoko ashidi.
1 Agustus 2002. www.google.com
[4]
Ensiklopedi
Nasional Indonesia, Penerbit PT Delta Pamungkas, 2004
[6] Arti Tripang adalah
merupakan sejenis ikan laut yang berbentuk mentimun yang sangat laku dijual
kepada saudagar-saudagar Cina. Karena pencarian Tripang inilah orang-orang
Bugis mampu mengharungi lautan hingga mencapai pantai bahagian utara benua
Australia dengan terlebih dahulu singgah di pulau-pulau kecil di ujung Timor
(Kitley,1994;413)
[9] Tony Swain and Garry Trompf, The
Religions Of Oceania, Librari of Religious Beliefs and Practices.1995.
Hal.21
[10] http://5besar.blogspot.com/2012/10/5-besar-adat-pemakaman-unik-dunia.html
[11] http://iniunic.blogspot.com/2012/12/mencengangkan-cara-sunat-suku-aborigin.html dan ref=http://www.serunique.com/2012/12/extreme-mencengangkan-cara-sunat-suku.html target="_blank">[extreme]
Mencengangkan Cara Sunat Suku Aborigin</a>
[12] Harjono, Ratih. 1992. Suku
Putihhnya Asia: Perjalanan Australia
MencariJati Dirinya. Gramedia Pustaka.
[13] Clark, D., Ian. 1995. Scars on The Landscape A
Register of Massacre Sites in Western Victoria .Aborigines Studies Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar