Awal mula
dari kemunculan agama jaina ialah ketika mahavira menyaksikan prilaku kasta
brahmana ( Brahmin ) yang banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan
sehingga membuat dia muak pangeran muda tersebut. Apalgi ketika ia menyaksikan
kematian kedua orang tuanya dalam keadaan lapar padahal mereka hidup dalam
kemewahan, itu dilakukan kedua orangnya Karena dalam ajaran hindu mengatakan
kematian dalam keadaan lapar merupakan suatu kematian yang suci ( holy
death ). Setelah kedua orang tuanya meninggal itulah dia berkata kepada
saudaranya :
“ saudara, untuk berkabung atas kemangkatan ibu-bapak kita, saya berkehendak
mengangkat sumpah bahwa dua belas tahun lamanya saya akan mengabaikan tubuh
menahankan bencana apapun yang datang dari kodrat-kodrat gaib maupun manusia
atau-pun hewan “. ( SBE. 22-200 ).
Mahavira
melakukan perjalanan mengembara sebagai seorang kafir, dan bersumpah “ dalam
masa 12 tahun terhitung mulai dari saat ini saya tidak akan mengucapkan sepatah
katapun“. Dari sumpah itu dia mendapatkan banyak pelajaran, diantaranya dia itu
lebih baik dari kata. Mahavira juga tidak membenarkan membunuh apa-apa yang
bernyawa. Kemudian ajaran-ajarannya banyak didukung oleh kalangan raja-raja
karena salah satu ajarannya adalah tidak boleh menyakiti benda-benda yang
mempunyai ruh tetapi telah mewajibkan rakyat agar taat dan setia kepada orang
yang memerintah, barang siapa yang melanggar atau menentang akan disembelih
kepalannya. Apalagi seruannya mengandung sesuatu yang membayangkan isi hati
mereka dalam menentang golongan brahmana. Penyebaran hasil pemikirannya disebar
melalui padato-pidato dan ceramah-ceramah diberbagai kota di india.
Ajaran dan praktik kegamaan
Kitab Suci
sumber-sumber
suci dikalangan para pengikut agam jaina adalah pidatdo-pidato mahavira.
Kemudian pidato-pidato mahavira ini diteriam oleh para pengikutnya seperti para
murid-muridnya,orang-orang arif,pendeta-pendeta dan para ahli ibadah. Sumber
kepustakaan suci ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Lalu
dikarenakan takut ajaran-ajarn ini hilang dan bercampur dengan ajaran-ajaran
yang lain maka pada abad ke-4 SM namun ada juga yang menyebut pada130 SM, para
penganut jaina mengadakan pertemuan dibandar patli putra, untuk mengumpulkan
naskah-naskah suci untuk dijilid manjadi satu. Dan kemudian kitab suci ini
diberi nama siddhanta, yang menjadi ajaran pokok agama jaina. Dan bahasa yang
digunakan dalam kitab ini adalah bahasa ardha majdi atau prakit. Namun bahasa
tersebut hanya digunakan pada abad-abad sebelum masehi, setelah masehi untuk
menjaga isinya kitab tersebut diganti bahasanya menjadi bahasa sansekerta.
Sedangkan kitab siddhanta sendiri terdiri dari
12 anggas sebelumnya, semua itu adalah himpunan yang terdiri dari pidato-pidato
mahvira. Namun anggas yang kedua belas telah lenyap sampai kini,tidak bisa
diketemukan lagi. Namun tentang jumlah anggas seluruhnya, yang merupakan bagian
dari kitab suci dijumpai perbedaan pendirian diantara sekte-sekte didalam agama
jaina itu. Seperti sekte digambara mengakui ada 80 anggas dari bagian kitab
suci agama jaina sedangkan sekte swetambara mengakui hanya 45 anggas saja.
Sedangkan gerakan reformasi agama jaina hanya 33 anggas saja.
System kepercayaan agama jain
Konsepsi tentang tuhan
Agama jain atau jainisme menolak adanya tuhan
yang dianggap sebagai pencipta atau penguasa dunia ini. Walaupun demikian
menurut hut chison, paham jainisme tidak termasuk atheis, melainkan disebut
non-teisme. Penyebutan ini didasarkan pada corak paha agama tersebut tentang
apa yang disebut tuhan. Agama jain mengakui keberadaan apa yang disebut sang
“Maha Kuat”, namun mengatakan bahwa sang maha kuat tersebut termasuk pula
manusia, semuanya terbelenggu dalam alam dosa dengan sedikit atau tanpa ada
kesempatan untuk melarikan diri darinya.
Para pakar telah mencoba meneliti mengapa
jainisme menolak tuhan, namun mereka baru memperkirakan saja mengenai sebab
tersebut. Yakni yang pertama. Jainisme merasa tuhan-tuhan itu tidak ada
perlunya karena manusia sendiri mampu mencapai kelepasan melalui kekuatannya
sendiri tanpa harus bergantung secara neurotic terhadap kekuatan-kekuatan lain
diluar dirinya. Kedua, karena tuhan-tuhan itu malah seolah-olah dianggap
sebagai hal yang dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip irasional.
Sebab
lainnya yang perlu dopertimbangkan adalah latar belakang krisis politik dan
kemerosotan kemasyarakatan pada saat itu. Kemudian Pentingnya upacara korban
dan pentingnya kedudukan para Brahmana sebagai tulang punggung sistem kasta.
Konsepsi tentang alam
Jainisme menganut filsafat dualisme, yaitu
membagi alam saemesta ini menjadi dua kategori: zat yang hidup (jiva) dan zat
yang tidak hidup (ajiva). Ajiva memiliki lima substansi yaitu benda (pudgala),
dharma, adharma, ruang (akasa) dan waktu (kala). Unsure jiva dan keenam unsure
ajiva tersebut disebut denga enam dravya.
Menurut agama ajarang agama jain substansi jiva
dan ajiva adalah kekal, tidak diciptakan, tidak ada permulaan dan tidak
berakhir. Atau dengan kata lain tidak ada sebab pertama yang
menyebabkan terjadinya substansi-substansi tersebut.
Kemudian selain pembagian menurut kedua
kategori tersebut, maka dari sudut pandang lain berbeda, substansi-substansi
tersebut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi dua yakni astikaya dan
nastikaya.
Menurut kosmologi jainisme
alam semesta ini adalah abadi, alam semesta ini bergerak melalui satu lingkaran
terus-menerus dari stau tempat yang ideal menuju kearah titik bawah lalu
dilanjutkan menaik lagi melalui titik atas dan begitu seterusnya. Menurut agama
jain alam semesta ini bergerak bukan karena adanya tuhan melainkan bergerak
secara mekanistis belaka.
Konsepsi tentang karma
Jainisme tetap menerima ajaran tentang
karma-samsara dalam pemikiran tradisional india, dan mengajarkan bahw karma
terjadi karena tercampurnya jiva dan ajiva. Konsep karma dalam jainisme berpangkal pada prinsip dualism antara jiwa
dan benda, atas dasra prinsip tersebut, menurut jainisme tubuh manusia itu
memenjarakan jiwanya.
Menurut jainisme karma adalah energy jiwa yang
dengan energy itu menyebabkan penggabungan jiwa dan benda dan kekotoran
berikutnya dari jiwa itu. Menurut jain karma bisa dibersihkan, prose
pembersihan karma disebut dengan nirjana, jika proses nirjana ini berjalan terus
tanpa rintagan maka pada akhirnya semua karma akan tercabut dari jiwa dan akan
mencapai tujuan utama hidup.
Tujuan utama
dari orang Jain adalah menjadi seorang Paramatman, satu jiwa yang sempurna. Ini
akan dicapai ketika semua lapisan karma, yang dianggap sebagai substansi,
dibuang, yang memungkinkan jiwa muncul ke atas sampai di langit-langit alam
semesta, dari kegelapan kepada cahaya, dimana, di luar Dewa-dewa dan
perpindahan jiwa yang sedang terjadi, jiwa tinggal selamanya dalam kebahagiaan
yang sunyi dari moksha. Moksha didefiniskan dalam agama Jain sebagai
pembebasan, penyatuan diri (self-unity) dan integrasi, kesendirian yang murni
dan ketenangan yang abadi, bebas dari tindakan dan keinginan, bebas dari karma
dan kelahiran kembali. Moksha dapat dicapai dalam hidup ini atau pada waktu
setelah mati. Ketika ia dicapai, manusia telah memenuhi tujuannya sebagai
manusia-Tuhan (man-God). Bagi agama Jain tidak ada Tuhan pencipta dan, karena
itu, tidak ada persatuan dengan Tuhan. Hakikat dari jiwa adalah kesadaran
murni, kekuatan, kebahagiaan dan maha tahu.
Pandangan tentang pencerahan
Tujuan akhir dari ajaran jain adalah untuk
mencapai kehidupan yang sempurna memperoleh pengetahuan tentang pencerahan dan
akhirnya moksa yakni terlepas dari siklus kelahiran kembali.
Menurut agama jain jiwa yang telah mencapai
kesempurnaan atau pencerahan menyebabkan pemiliknya mencapai tingkat kesalehan
dan kesempurnaan dari luar. Sebagai contoh para tirthankara yang kesemuanya
telah diakui berhasil mencapai kesempurnaan itu. Kemudian orang yang telah
mencapai kesempurnaan jua akan dapat menikmati empat macam atribut yakni
persepis yyang tak terbatas, pengetahuan yang tak terbatas, kekuatan yang tak
terbatas dan kebahagiaan yang tak terbatas. Kesempurnaan jiwa seperti ini dapat
dirasa ketika dia amsih hidup atau sudah mati.
Tentang Epsitemologi
Dalam aspek epistemologi, jaina menolak pandangan
carvaka bahwa persepsi hanyalah satu-satunya sumber valid munculnya
pengetahuan. Jika kita menolak kemungkinan memperoleh pengetahuan benar melalui
inferensi dan testimoni orang lain, kita semestinya meragukan validitas
persepsi, karena sekalipun persepsi kadang-kadang bisa bersifat ilusi. Padahal
carvaka sendiri memakai inferensi (anumana) ketika mengatakan bahwa semua
inferensi adalah invalid, dan juga ketika mereka menolak eksistensi objek-objek
karena mereka tidak dilihat. Disamplng persepsi, jaina menerima inferensi dan
testimony (sabda) sebagai sumber pengatahuan valid. Inferensi menberikan
pengetahuan valid ketika ia mengikuti kaidah-kaidah logis yang tepat. Testimoni
valid ketika ia merupakan laporan otoritas terpercaya. Atas otoritas ajaran-ajaran
orang-orang sucu yang telah terbebaskan (jaina atau tirthankara) orang-orang
pengikut ajaran ini mendapatkan pengetahuan yang benar yang tidak dapat
diperoleh oleh orang yang masih terbatas. Testimoni Tirthankara ini tidak
diragukan lagi ke-validan-nya.
Jaina mengklasifikasikan pengetahuan menjadi,
pengetahuan langsung (aparoksa) dan pengetahuan antara (paroksa). Pengetahuan
langsung lebih lanjut lagi dibagi lagi menjadi avadhi, manahparyaya dan kepala;
dan pengetahuan antara menjadi mati dan sruta. Mati mencakup pengetahuan
perseptual dan inferensial. Sruta berarti pengetahuan yang diambil dari
otoritas. Avadhi-jnana, manahparyaya-jnana, dan kevala-jnana merupakan tiga
jenis pengetahuan langsung yang bisa dikatakan sebagai persepsi ekstra biasa dan
ekstra sensori avadhi adalah kemampuan melihat hal-hal yang tidak Nampak oleh
indra; manahparyaya adalah telepathi; dan kevala adalah kemahatahuan. Disamping
kelima pengetahuan benar tersebut diatas, ada juga tiga pengetahuan salah,
yaitu samshaya atau keragu-raguan, viparyaya atau kesalahan dan anandhyavasaya
atau pengetahuan salah melalui kesamaan.
Pengetahuan lagi dibagi
menjadi dua jenis, yaitu pramana atau pengetahuan tentang suatu benda seperti
apa adanya, dan naya atau pengetahuan tentang suatu benda didalam hubungannya
dengan yang lainnya. Naya berarti titik pandang atau pendapat dari
mana kita membuat pernyataan tentang sesuatu . Semua kebenaran adalah relativ
terhadap pandangan kita. Pengetahuan parsial merupakan salah satu aspek yang
takterhitung banyaknya tentang suatu benda disebut “naya” . Terdapat
tujuh naya yang empat pertama adalah artha-naya, kemudian tiga terakhir disebut
sabda-naya.
Jaina percaya dengan pluralisme roh;
Terdapat roh-roh
sebanyak tubuh hidup yang ada. Tidak hanya roh dalam binatang, tetapi juga
tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu. Hal ini juga diterima dalam ilmu
pengetahuan moderen. Semua roh tidak secara sama memilki kesadaran, ada yang
lebih tinggi ada yang lebih rendah. Semaju apapun indria-indrinya, roh
terbelenggu dalam pengetahuan y6ang terbatas; juga terbatas dalam tenaga dan
mengalami segala jenis penderitaan.Tetapi setiap roh mampu mencapai kesadaran
tak terbatas, kekuatan dan kebahagian. Mereka dihalangi oleh karma, seperti
matahari dihalangi oleh awan. Karma dapat menyebabkan belenggu roh. Dengan
menyingkirkan karma roh dapat memindahkan belenggu dan mendapatkan kesempurnaan
alamiah.
Tiga
cara menyingkirkan belenggu, yaitu keyakinan yang sempurna dalam ajaran-ajaran
guru-guru jaina, pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut, dan perilaku
yang benar. Perilaku benar terdiri atas praktek tidak menyakiti atau melukai
seluruh makhluk hidup, menghidari kesalahan, mencuri, sensualitas, dan
kemelakatan objek-objek indriya, mengkombinasikan ketiganya di atas, perasaan
akan dikendalikan dan karma yang membelenggu roh akan disingkirkan. Lalu, roh
mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas, pengetahuan tak terbatas,
dan kebahagian yang tak terbatas. Inilah keadaan miksa menurut ajaran jaina.
Hal ini telah dibukatikan oleh guru-guru dalam tradisi jaina atau Tirthankara.
Mereka memperlihatkan jalan menuju moksa.
Tentang Metafisika
Di dalam aspek metafisikanya, jainisme
mengambil posisi realistik dan pluralism relativistik. Ia disebut atau doktrin
pluralistik realitas. Material dan spirit dipandang sebagai realitas-realitas
yang independen dan terpisah. Terdapat atom-atom material yang tak terhitung
jumlahnya dan roh-roh individu aspek-aspek dirinya yang juga tak terhitung
jumlahnya. Sebuah benda mempunyai karakteristik yang tak hingga jumlahnya .
setiap objek mempunyai karakter positif dan negative yang tak terhitung
jumahnya. Adalah tak mungkin bagi manusia biasa untuk mengetahui semuanya itu.
Kita hanya tahu sebagian kecil saja. Oleh karena itu, jainisme mengatakan
ia yang mengetahui semua sifat benda di dalam satu benda, mengetahui semua
sifat semua benda, dan ia mengetahui semua sifat semua benda. Mengatahui senua
sifat di dalam satu benda. Pengetahuan manusia, dengan melihat kapasitasnya
yang terbatas , ia adalah relativ dan terbatas dan semuanya merupakan keputusan
kita. Teori logika dan epistemologi Ajaran jaina ini disebut “syadvada”. Baik
anekantavada maupun syadvada merupakan dua aspek dari ajaranyang sama
–realistik dan prulalistik relativistik. Sisi metafisikanya bahwa realitas
mempunyai karakter yang tak terhitung jumlahnya disebut anekantavada, sementara
pandangan logika dan epistemologinya bahwa kita hanya dapat mengetahui beberapa
aspek saja dari suatu realitas di dunia dan oleh karena itu keputusan-keputusan
kita bersifat relativ, maka ia disebut syadvada dan ada tujuh golongannya:
1.
syadasti:secara
relative, sebuah benda riil.
2.
Syannasti:secara
relative, sebuah benda tidak riil.
3.
Syadasti
nasty:secara relative, sebuah benda keduanya riil dan tidak riil.
4.
Syadavaktavyam:secara
relative, sebuah benda tak bisadijelaskan.
5.
Syadasti cha
avaktavyam:secara relative, sebuah benda riil dan tidak bisadijelaskan.
6.
Syannasti cha
avaktavyam:secara relative, sebuah benda tidak riil dan tidak dapat di
jelaskan.
7.
Syadasti cha nasty
cha avaktavyam: secara relative, sebuah bendarill, tidak riil dan tidak bisa
dijelaskan.
PRAKTEK KEAGAMAAN DALAM JAINISME
Asketisme
Menurut jai nada dua motif melakukan kehidupan asketik, pertama
bahwa kehidupan asketik dianggap sebagai salah satu macam atletikisme spiritual
yaitu latihan spiritual para atlit menjelang pertandingan. Kedua, bahwa
kehidupan asketik itu menempatkan prinsip serba dua antara materi dan spirit
(jiwa). Alu mencari cara untuk membebaskan jiwa yang terkurung dalam daging.
Jainisme
sangantmementingkan asketisme. Hal ini diandaikan sebagai perjuangan mahavira
untu memperoleh pengetahuan agungng. Karena itu sifat asketik jainisme menjadi
bgitu kstrim dan ketat.
Etika penganut agama Jain
Masyarakat
jainisme terdiri atas pendeta, biara dan orang kebanyakan. Hanya ada lima
disiplin spiritual didalam jainisme. Di dalam kasus kependetaan disiplin ini
benar-baner ketat, kaku dan sangat fanatik. Sementara dalam kasus orang umum
hal itu bisa di modifikasi. Kelima sumpah disebut “sumpah besar” (maha-vrta),
sementara bagi orang umum disebut ‘sumpah kecil’ (anu-vrta). Kelima sumpah
tersebut adalah (1) ahimsa (non kekerasan), (2) satya (kebenaran di dalam
pikiran), (3) asteya (tidak mencuri), (4) brahmacharya (berpantang dari
pemenuhan nafsu baik pikiran, perkataan maupun perbuatan), dan (5) aparigraha
(ketakmelekatan dengan pikiran, perkataan dan prbuatan). Dalam halo rang umum,
aturan ini bisa di modifikasi dan disederhanakan.
Untuk orang awam ada 12 atauran yang semula
berasal dari aturan pendeta. Keduabelas aturan tersebut adalah
1.
Tidak pernah
menyengaja melenyapkan kehidupan dari makhluk ang berorgan indra
2.
Tidak pernah
berbohong
3.
Tidak mencuri
4.
Tidak berzina
5.
Tidak tamak
6.
Menghindari
godaan-godaan
7.
Membatasi
jumlah barang yang dipakai sehari-hari
8.
Menjaga hal
yang berlawanan dengan usaha untuk menghindari dari kesalahan-kesalahan
9.
Menjaga
periode-periode meditasi yang telah dicapai
10.
Mengamati
periode-periode penolakan diri
11.
Memanfaatkan
periode-periode kesempatan menjadi pendeta
12.
Member sedekah
Umat awam juga memegag prinsip ahimsa, dengan
melakukan diet vegetarian dan selanjutnya melarang diri makan telor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar