Rabu, 05 Juni 2013

Responding Paper Agama Shinto

Agama Shinto didirikan mulai sekitar 2,500 - 3000 tahun yang lalu di Jepang. Agama ini memiliki 13 sekte yang mana masing-masing dari 13 (tigabelas) sekte kuno memiliki pendirinya. Dengan pengikut sekitar 30 Juta orang, dominan terbesar di Jepang. Sebagian besar juga adalah penganut agama Buddha. Ada dua pemisahan utama. Pertama adalah tiga belas sekte-sekte kuno, hampir sama semuanya. Kedua adalah apa yang dikenal sebagai Shinto Negara, dan merupakan sinthesa kemudian yang menemukan ekspresi tertinggi pada pemujaan pada Kaisar dan kesetiaan pada Negara dan keluarga.
Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok.
Nama asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna jalan dewa. Pada saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna jalan langit. Perubahan bunyi iitu serupa halnya dengan aliran Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang.
Agama Shinto pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya negara dan bangsa Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang, penyebarannya adalah di asia dan terbanyak di jepang, kira kira pada abad 6 masehi agama budha masuk ke jepang dari tiongkok dengan melalui korea. Satu abad kemudian agama itu telah berkembangan dengan pesat bahkan lama kelamaan agama itu dapat mendesak agama shinto akan tetapi karena agama shinto mengajarkan penganutnya untuk memuja dan berbakti kepada raja maka raja pun berusaha untuk melindunginya.
Pada abad ke-7 Shinto masih berpegang teguh pada sifatnya yang sederhana dan corak keagamaannya yang animistis. Akan tetapi karena saat itu pula bangsa jepang mulai membayangkan sebagai sebuah Negara kekaisaran yang mampu menyaingi kultur bangsa Cina yang sudah lebih dulu maju, dan agama Shinto memeberi kemungkinan diciptakannya suatu kultus nasional seperti yang pernah dilakukan oleh para penguasa suku Yamato jauh sebelumnya, maka pemujaan terhadap Dewi Matahari yang pernah dikembangkan oleh suku tersebut dihidupkan dan digalakkan kembali.
A.   AJARAN DAN KEPERCAYAAN SHINTO
v  K a m i
Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata “Kami” tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.
Istilah Kami diterapkan terhadap kekuatan dan objek-objek tertentu, tanpa membedakan apakah objek tersebut adalah benda hidup atau mati, bersifat baik atau buruk. Semua yang memiliki sifat-sifat misteriusdan menimbulkan rasa segan dan takut dapat dianggap sebagai Kami.
“Pada mulanya istilah Kami diterapkan terhadap dewa-dewa langit dan bumi yang disebutkan dalam dokumen-dokumen kuno tertulis, dan terhadap spirit-spirit (mitama) yang mendiami tempat-tempat suci, tempat mereka dipuja. Disamping itu, bukan hanya manusia, tetapi juga burung-burung, binatang-binatang, tetumbuhan dan pohon-pohon, laut dan gunung-gunung, dan semua benda lain, apapun bentuknya yang patut ditakuti dan dipuja karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan luarbiasa, semuanya disebut kami. Kami juga tidak memerlukan sifat-sifat istimewa karena memiliki kemuliaan, kebaikan, atau kegunaan yang khusus. Segala kewujudan yang jahat dan mengerikan juga disebut Kami  apabila merupakan objek-objekyang pada umumnya ditakuti.”
-Motoori Norinaga (Seorang sarjana dan pembaharu Shinto di zaman modern)-
Dari kutipan diatas dapat diketahui adanya 4 hal yang mendasari konsepsi kedewaan dalam agama Shinto, yaitu :
1.      Dewa-dewa tersebut pada umumnya merupakan personifikasi gejala-gejala alam.
2.      Dewa-dewa tersebut dapat pula berarti manusia
3.      Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang mendiami tempat-tempat di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
4.      Pendekatan manusia terhadap dewa-dewa tersebut bertitik-tolak dari perasaan segan dan takut.
Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa bertambah, hal ini diungkapkan dalam istilah “Yao-Yarozuno Kami” yang berarti “delapan miliun dewa”. Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap berbilangnya tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh sebab itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10, 50, 100, 500 dan seterusnya dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa jumlah para dewa itu tidak terbatas jumlahnya. Dan seperti halnya jumlah angka dengan bilangannya yang besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan “Kami”.
Adapun beberapa dewa-dewi, mahkluk gaib, roh-roh, yang dipuja dalam Shinto antara lain[1] :
·         Naga (mahkluk berupa ular)
·         Dosojin, Ebisu (salah satu dewa keberuntungan Jepang)
·         Dewa Hachiman, Henge, Kappa, Kitsune (Roh Srigala)
·         Oinari (Roh Srigala)
·         Shishi (Singa)
·         Su-ling (Empat Binatang Pelindung)
·         Tanuki (Sejenis Dewa
·         Inari (dewa makanan)
·         Aragami (Roh ganas dan jahat)
·         Dewa-dewa Tanah dan Dewa-dewa Gunung dan Dewa-dewa Pohon
·         Dewa-dewa Air dan Dewa-dewa Laut
·         Dewa-dewa Api
·         Dewa-dewa manusia

v  Ajaran Tentang Manusia
Hubungan kami dengan manusia terjalin suatu hubungan antara orangtua dan anak, atau antara nenek moyang dengan keturunannya. Dengan demikian “manusia adalah putra kami”. Ungkapan ini memiliki 2 macam arti :
1)      Kehidupan manusia berasal dari kami, sehingga dianggap suci.
2)      Kehidupan sehari-hari adalah pemberian dari kami.
Dalam agama Shinto, manusia memiliki banyak arti, diantaranya :
·         Hito (tempat tinggal spirit)
·         aohito-gusa (manusia-rumput hijau) Dalam bahasa Jepang kuno
·         ame no masu-jito (manusia- langit-yang berkembang)
konsep dosa tidak dikenal dalam agama Shinto. Segala bentuk upacara keagamaan yang dikerjakan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi “suci” yang sangat diperlukan dalam mendekati kami. Penyakit, luka, menstruasi, dan kotoran-kotoran lainnya dianggap sebagai hal-hal yang dapat merusak hubungan manusia dengan kami.
v  Ajaran Tentang Dunia
Agama Shinto adalah termasuk tipe agama “lahir satu kali”. Dalam arti, memandang dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Meskipun demikian, dalam pemikiran Shinto ada 3 macam dunia, yaitu :
1.      Tamano-hara, yang berarti “tanah langit yang tinggi”, yaitu dunia menjadi tempat tinggal para dewa langit.
2.      Yomino-kuni, yakni tempat orang-orang yang sudah meningal dunia, yang dibayangkan sebagai dunia yang  gelap, kotor, jelek, dan menyengsarakan.
3.      Tokoyono-kuni, yang berarti “kehidupan yang abadi”, ”negeri yang jauh diseberang lautan”, atau “kegelapan yang abadi”, yaitu sebuah dunia yang dianggap penuh kenikmatan dan kedamaian, tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan suci.
v  Ritual Keagamaan
Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat sederhana yaitu melemparakan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh detik. Doa dilakukan tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja. Sedikit catatan, bisa saya sebutkan bahwa tata cara doa di kuil Shinto dengan kuil Buddha sangatlah mirip. Yang sedikit berbeda adalah di kuil Buddha tangan dicakupkan ke depan dada dengan pelan, hening dan tanpa suara, sedangkan kuil Shinto adalah sebaliknya yaitu mencakupkan tangan dengan keras sehingga menghasilkan suara sebanyak dua kali (mirip tepuk tangan).
Walaupun aturan tata cara berdoa ini bisa disebut baku namun sama sekali tidaklah bersifat mengikat. Berdoa tepat di depan altara utama, dari halaman kuil, dari luar pintu gerbang, dilakukan tidak dengan mencakupkan tangan namun membungkukan badan atau bahkan tidak berdoa sama sekali bukanlah masalah sama sekali.
Agama Shinto ada beberapa proses ritual atau ibadah ynag bertujuan untuk mensucikan diri mereka, Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto.
Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.
v  Festival (Matsuri)
Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius.
Kebanyakan festival dilaksanakan pada musim panas sekitar bulan July dan Agustus dan jatuh pada hari minggu sesuai dengan kalender masehi. Bulan ini juga merupakan bulan liburan anak sekolah, jadi festival dipastikan akan dipenuhi oleh para remaja dan anak anak.
       Matsuri Terbesar

a)      Gion Matsuri
Adalah tradisi yang berasal dari sekitar 1.100 tahun yang lalu. Pada tahun 869 konon terjadi wabah penyakit menular yang mengganas di seluruh Jepang, sehingga perlu diadakan upacara yang disebut Goryō-e untuk menenangkan arwah orang yang meninggal karena wabah penyakit menular. Pendeta Shintō bernama Urabe Hiramaro membuat 66 pedang dengan mata di dua sisi (hoko) untuk persembahan kepada penjaga dari penyakit menular yang disebut dewa Gozutennō. Jumlah Hoko yang dibuat sesuai dengan jumlah negara-negara kecil (kuni) yang terdapat di Jepang pada saat itu. Upacara ini kemudian dikenal sebagai Gion Goryō-e, yang kemudian penyebutannya disingkat menjadi Gion-e.
Sejak tahun 970 upacara terus diselenggarakan setiap tahun hingga menjadi Gion Matsuri seperti sekarang ini. Prosesi Yamaboko seperti yang dikenal sekarang ini konon berasal dari tahun-tahun akhir zaman Heian. Gion Matsuri sempat tidak diselenggarakan sewaktu Perang Onin, akibat kebakaran besar di era Hōei, era Temmei dan era Genji, serta serangan udara pada Perang Dunia II. Gion Matsuri kemudian dihidupkan kembali oleh warga kota yang merupakan pengusaha yang berpengaruh (machishū).
Berbeda dengan Gion Matsuri yang dikenal sekarang ini, prosesi Yamaboko yang menjadi puncak perayaan Gion Matsuri pada tahun 1966 dilakukan dalam dua tahap:
  • Zensai (prosesi Yama dan Hoko pada tanggal 17 Juli)
  • Ato Matsuri (prosesi Yama saja pada tanggal 24 Juli).
Yamaboko adalah istilah untuk Yama dan Hoko. Yama adalah kendaraan beroda (float) besar dari kayu dengan hiasan megah dan ditarik oleh banyak orang. Hiasan kendaraan (kenshōhin) pada Yama berupa benda-benda keagamaan dan benda-benda seni seperti karpet yang didatangkan dari Eropa dan Tiongkok melalui Jalan Sutra. Perdagangan dengan Dinasti Ming mencapai puncaknya pada zaman Muromachi, sehingga motif dari luar negeri banyak dipamerkan dalam Gion Matsuri. Masing-masing Yama mempunyai tema yang biasanya merupakan cerita dongeng yang berasal dari Tiongkok.
Hoko adalah jenis Yama dengan menara menjulang tinggi yang di ujung paling atasnya terdapat hoko (katana dengan mata di dua sisi) walaupun ada juga Hoko yang tidak bermenara. Hoko juga dijadikan panggung untuk kelompok orang berpakaian Yukata yang terdiri dari pemain musik Gionbayashi dan peserta yang berkesempatan naik karena memenangkan undian hasil membeli Chimaki atau Gofu (semacam jimat). Musik Gionbayashi yang menurut telinga orang Jepang berbunyi "Kon-chi-ki-chin" baru menjadi tradisi Gion Matsuri pada zaman Edo.

b)     Tenjin matsuri
Perayaan Tenjinmatsuri dimulai pada tanggal 1 Juni tahun 951. Pada saat itu, perayaan dibuka dengan ritual menghanyutkan kamihoko (pedang dengan mata di kedua sisi) di sungai Ōkawa. Lokasi perayaan ditentukan berdasarkan tempat tersangkutnya kamihoko yang dihanyutkan air sungai. Penghanyutan kamihoko merupakan asal-usul ritual Hokonagashi yang dilakukan sampai sekarang ini. Puncak perayaan berupa prosesi perahu berasal dari ritual Hokonagashi yang menentukan lokasi perayaan di tengah sungai.
Dalam sepanjang sejarah agama Shinto, matsuri merupakan hala yang amat penting. Kehidupan yang soleh dan taat adalah Matsuri dan hiddup itu sendiri sama dengan matsuri. Upacara-upacara keagamaan juga disebut matsuri. Oleh karena didalam pemikiran bangsa jepang lama kehidupan politik harus mengikuti keinginan para dewa, maka tidak ada pemerintahan tanpa matsuri. Dari sini timbul konsep Saise-itchi yaitu konsep kesatuan antara agama dan Negara ; dan matsuri-goto,  yang berarti pemerintahan, adalah sinonim dari kata matsuri.
Sebagai suatu festival keagamaan, dunia matsuri sangat banyak, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 macam :
·         Haru-matsuri – festival musim semi – yang bertujuan memohon rahmar dewa agar mendapat panen yang melimpah.
·         Aki-matsuri – festival musim gugur – sebagai pernyataan terimakasih pada dewa atas hasil panen yang diperoleh.
·         Reisai –. festial tahunan yang diselenggarakan pada bulan-bulan tertentu
·         Shinko-shiki – festival arak-arakan dewa, yaitu untuk memuja dewa tertentu agar memperoleh keselamatan dari berbagai macam penyakit.
Kesucian dan kebersihan, adalah suatu hal yang sangat penting. Atas pengaruh ajaran kebersihan atau kesucian ini, maka soal mandi termasuk perbuatan agama, sehingga dijadikan salah satu upacara keagamaan.
Kehidupan manusia sejak lahir hingga meninggal dunia dibagi menjadi beberapa tingkatan. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya dianggap sebagai masa peralihan yang mengandung bahaya tertentu.  Oleh sebab itu, perpindahan tersebut biasanya diikuti oleh upacara-upacara. Yang terpenting diantaranya ialah :
1.      Upacara Masa Kanak-Kanak
2.      Upacara Usia Dewasa
3.      Upacara Perkawinan
4.      Upacara Usia Lanjut
5.      Upacara Kematian
E.   KITAB SUCI AGAMA SHINTO
Dalam agama Shinto ada dua kitab suci yang tertua, tetapi di susun sepuluh abad sepeninggal jimmi temmo (660 SM), kaisar jepang yang pertama. Dan dua buah lagi di susun pada masa yang lebih belakangan, keempat empat kitab tiu adalah sebagi berikut :
A.    Kojiki - yang bermakna : catatan peristiwa purbakala. Disusun pada tahun 712 masehi, sesudah kekaisaran jepang berkedudukan di nara, yang ibukota nara itu di bangun pada tahun 710 masehi menuruti model ibukota changan di tiongkok.
B.     Nihonji -  yang bermakna : riwayat jepang. Di susun pada tahun 720 masehi oleh penulis yang sama degan di Bantu oelh seorang pangeran di istana.
C.     Yeghisiki -  yang bermakna : berbagai lembaga pada masa yengi, kitab ini disusun pada abad kesepuluh masehi terdiri atas 50 bab. Sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah kisah yang bersifat kultus, disusuli dengan peristiwa selanjutnya sampai abad kesepuluh masehi, tetapi inti isinya adalah 25 norito yakni do’a do’a pujaan yang sangat panjang pada berbagai upacara keagamaan.
D.    Manyosiu -  yang bermakan : himpunan sepuluh ribu daun, berisikan bunga rampai, yang terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara abad kelima dengan abad kedelapan masehi.




[1] http://prabukalianget.wordpress.com/category/agama/  dikutip Maret16,2013,pada 15:47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar