Agama Shinto didirikan mulai sekitar 2,500 - 3000
tahun yang lalu di Jepang. Agama ini memiliki 13 sekte yang mana masing-masing
dari 13 (tigabelas) sekte kuno memiliki pendirinya. Dengan pengikut sekitar 30
Juta orang, dominan terbesar di Jepang. Sebagian besar juga adalah penganut
agama Buddha. Ada dua pemisahan utama. Pertama adalah tiga belas sekte-sekte
kuno, hampir sama semuanya. Kedua adalah apa yang dikenal sebagai Shinto
Negara, dan merupakan sinthesa kemudian yang menemukan ekspresi tertinggi pada
pemujaan pada Kaisar dan kesetiaan pada Negara dan keluarga.
Shinto
adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan
“To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik
roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To”
berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau
“jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata
“Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan
dari kata “Yang”. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan
besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok.
Nama
asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna jalan dewa. Pada saat Jepang
berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang
oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi dari Tien-Tao,
yang bermakna jalan langit. Perubahan bunyi iitu serupa halnya dengan aliran
Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen
sewaktu berkembang di Jepang.
Agama Shinto pada mulanya adalah merupakan perpaduan
antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam.
Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan
nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul
daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Latar
belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang
historis tentang asal-usul timbulnya negara dan bangsa Jepang. Karena yang
menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk
cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka
faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke
Jepang yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang,
penyebarannya adalah di asia dan terbanyak di jepang, kira kira pada abad 6
masehi agama budha masuk ke jepang dari tiongkok dengan melalui korea. Satu
abad kemudian agama itu telah berkembangan dengan pesat bahkan lama kelamaan
agama itu dapat mendesak agama shinto akan tetapi karena agama shinto
mengajarkan penganutnya untuk memuja dan berbakti kepada raja maka raja pun
berusaha untuk melindunginya.
Pada
abad ke-7 Shinto masih berpegang teguh pada sifatnya yang sederhana dan corak
keagamaannya yang animistis. Akan tetapi karena saat itu pula bangsa jepang
mulai membayangkan sebagai sebuah Negara kekaisaran yang mampu menyaingi kultur
bangsa Cina yang sudah lebih dulu maju, dan agama Shinto memeberi kemungkinan
diciptakannya suatu kultus nasional seperti yang pernah dilakukan oleh para
penguasa suku Yamato jauh sebelumnya, maka pemujaan terhadap Dewi Matahari yang
pernah dikembangkan oleh suku tersebut dihidupkan dan digalakkan kembali.
A.
AJARAN DAN KEPERCAYAAN SHINTO
v K a m i
Istilah “Kami”
dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga
apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata
“Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan
sebagainya). Jadi
bagi bangsa Jepang kata “Kami” tersebut berarti suatu objek pemujaan yang
berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam
agama lain.
Istilah Kami diterapkan
terhadap kekuatan dan objek-objek tertentu, tanpa membedakan apakah objek
tersebut adalah benda hidup atau mati, bersifat baik atau buruk. Semua yang
memiliki sifat-sifat misteriusdan menimbulkan rasa segan dan takut dapat
dianggap sebagai Kami.
“Pada
mulanya istilah Kami diterapkan
terhadap dewa-dewa langit dan bumi yang disebutkan dalam dokumen-dokumen kuno
tertulis, dan terhadap spirit-spirit (mitama)
yang mendiami tempat-tempat suci, tempat mereka dipuja. Disamping itu, bukan
hanya manusia, tetapi juga burung-burung, binatang-binatang, tetumbuhan dan
pohon-pohon, laut dan gunung-gunung, dan semua benda lain, apapun bentuknya
yang patut ditakuti dan dipuja karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan
luarbiasa, semuanya disebut kami. Kami
juga tidak memerlukan sifat-sifat istimewa karena memiliki kemuliaan, kebaikan,
atau kegunaan yang khusus. Segala kewujudan yang jahat dan mengerikan juga
disebut Kami apabila merupakan objek-objekyang pada umumnya
ditakuti.”
-Motoori Norinaga
(Seorang sarjana dan pembaharu Shinto di zaman modern)-
Dari
kutipan diatas dapat diketahui adanya 4 hal yang mendasari konsepsi kedewaan
dalam agama Shinto, yaitu :
1. Dewa-dewa tersebut pada umumnya
merupakan personifikasi gejala-gejala alam.
2. Dewa-dewa tersebut dapat pula berarti
manusia
3. Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai
spirit yang mendiami tempat-tempat di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
4. Pendekatan manusia terhadap dewa-dewa
tersebut bertitik-tolak dari perasaan segan dan takut.
Dewa-dewa
dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa bertambah, hal
ini diungkapkan dalam istilah “Yao-Yarozuno
Kami” yang berarti “delapan miliun
dewa”. Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap berbilangnya tersebut
justru dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar
berarti menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha
sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh sebab itu angka-angka seperti 8, 80, 180,
5, 100, 10, 50, 100, 500 dan seterusnya dianggap sebagai angka-angka suci
karena menunjukkan bahwa jumlah para dewa itu tidak terbatas jumlahnya. Dan
seperti halnya jumlah angka dengan bilangannya yang besar maka bilangan itu
juga menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan “Kami”.
Adapun
beberapa dewa-dewi, mahkluk gaib, roh-roh, yang dipuja dalam Shinto antara lain[1] :
·
Naga
(mahkluk berupa ular)
·
Dosojin,
Ebisu (salah satu dewa keberuntungan Jepang)
·
Dewa
Hachiman, Henge, Kappa, Kitsune (Roh Srigala)
·
Oinari
(Roh Srigala)
·
Shishi
(Singa)
·
Su-ling
(Empat Binatang Pelindung)
·
Tanuki
(Sejenis Dewa
·
Inari
(dewa makanan)
·
Aragami
(Roh ganas dan jahat)
·
Dewa-dewa
Tanah dan Dewa-dewa Gunung dan Dewa-dewa Pohon
·
Dewa-dewa
Air dan Dewa-dewa Laut
·
Dewa-dewa
Api
·
Dewa-dewa
manusia
v Ajaran Tentang Manusia
Hubungan kami dengan manusia terjalin suatu
hubungan antara orangtua dan anak, atau antara nenek moyang dengan
keturunannya. Dengan demikian “manusia adalah putra kami”. Ungkapan ini memiliki 2 macam arti :
1) Kehidupan
manusia berasal dari kami, sehingga
dianggap suci.
2) Kehidupan
sehari-hari adalah pemberian dari kami.
Dalam agama Shinto, manusia memiliki
banyak arti, diantaranya :
·
Hito (tempat tinggal spirit)
·
aohito-gusa (manusia-rumput hijau) Dalam bahasa
Jepang kuno
·
ame no masu-jito (manusia- langit-yang berkembang)
konsep dosa tidak dikenal dalam
agama Shinto. Segala bentuk upacara keagamaan yang dikerjakan pada dasarnya
bertujuan untuk menciptakan kondisi “suci” yang sangat diperlukan dalam
mendekati kami. Penyakit, luka,
menstruasi, dan kotoran-kotoran lainnya dianggap sebagai hal-hal yang dapat
merusak hubungan manusia dengan kami.
v Ajaran Tentang Dunia
Agama
Shinto adalah termasuk tipe agama “lahir satu kali”. Dalam arti, memandang
dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Meskipun
demikian, dalam pemikiran Shinto ada 3 macam dunia, yaitu :
1. Tamano-hara, yang berarti “tanah langit yang tinggi”, yaitu dunia
menjadi tempat tinggal para dewa langit.
2. Yomino-kuni, yakni tempat orang-orang yang sudah meningal dunia, yang
dibayangkan sebagai dunia yang gelap,
kotor, jelek, dan menyengsarakan.
3. Tokoyono-kuni, yang berarti “kehidupan yang
abadi”, ”negeri yang jauh diseberang lautan”, atau “kegelapan yang abadi”,
yaitu sebuah dunia yang dianggap penuh kenikmatan dan kedamaian, tempat tinggal
arwah orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan suci.
v Ritual Keagamaan
Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto
sangat sederhana yaitu melemparakan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan
altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa
yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh detik. Doa dilakukan
tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja. Sedikit
catatan, bisa saya sebutkan bahwa tata cara doa di kuil Shinto dengan kuil
Buddha sangatlah mirip. Yang sedikit berbeda adalah di kuil Buddha tangan
dicakupkan ke depan dada dengan pelan, hening dan tanpa suara, sedangkan kuil
Shinto adalah sebaliknya yaitu mencakupkan tangan dengan keras sehingga
menghasilkan suara sebanyak dua kali (mirip tepuk tangan).
Walaupun aturan tata cara berdoa ini bisa disebut baku namun
sama sekali tidaklah bersifat mengikat. Berdoa tepat di depan altara utama,
dari halaman kuil, dari luar pintu gerbang, dilakukan tidak dengan mencakupkan
tangan namun membungkukan badan atau bahkan tidak berdoa sama sekali bukanlah
masalah sama sekali.
Agama Shinto ada beberapa proses ritual atau ibadah ynag
bertujuan untuk mensucikan diri mereka, Agama Shinto sangat mementingkan
ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat
mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan
bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan
negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu
agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan
pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa
dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto.
Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama
Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang
dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang
pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di
atas gunung Fujiyama.
v Festival (Matsuri)
Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa
seperti dalam bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja
atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian
bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang
dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang
tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū
merupakan salah satu contoh kuil agama
Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang
eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan
penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang
sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan
dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan
tanpa makna religius.
Kebanyakan festival dilaksanakan pada musim panas
sekitar bulan July dan Agustus dan jatuh pada hari minggu sesuai dengan
kalender masehi. Bulan ini juga merupakan bulan liburan anak sekolah, jadi
festival dipastikan akan dipenuhi oleh para remaja dan anak anak.
Matsuri
Terbesar
- Gion Matsuri
(Yasaka-jinja,
Kyoto,
bulan Juli)
- Tenjinmatsuri
(Osaka Temmangu,
Osaka,
24-25 Juli)
- Kanda
Matsuri (Kanda
Myōjin, Tokyo,
bulan Mei)
a)
Gion
Matsuri
Adalah tradisi yang berasal dari sekitar 1.100 tahun
yang lalu. Pada tahun 869
konon terjadi wabah penyakit menular yang mengganas di seluruh Jepang, sehingga
perlu diadakan upacara yang disebut Goryō-e untuk menenangkan arwah
orang yang meninggal karena wabah penyakit menular. Pendeta Shintō bernama
Urabe Hiramaro membuat 66 pedang dengan mata di dua sisi (hoko) untuk
persembahan kepada penjaga dari penyakit menular yang disebut dewa Gozutennō.
Jumlah Hoko yang dibuat sesuai dengan jumlah negara-negara kecil (kuni)
yang terdapat di Jepang pada saat itu. Upacara ini kemudian dikenal sebagai Gion
Goryō-e, yang kemudian penyebutannya disingkat menjadi Gion-e.
Sejak tahun 970
upacara terus diselenggarakan setiap tahun hingga menjadi Gion Matsuri seperti
sekarang ini. Prosesi Yamaboko seperti yang dikenal sekarang ini konon berasal
dari tahun-tahun akhir zaman Heian.
Gion Matsuri sempat tidak diselenggarakan sewaktu Perang Onin,
akibat kebakaran besar di era Hōei,
era Temmei
dan era Genji,
serta serangan udara pada Perang Dunia II.
Gion Matsuri kemudian dihidupkan kembali oleh warga kota yang merupakan
pengusaha yang berpengaruh (machishū).
Berbeda dengan Gion Matsuri yang dikenal sekarang
ini, prosesi Yamaboko yang menjadi puncak perayaan Gion Matsuri pada tahun 1966 dilakukan dalam dua
tahap:
- Zensai
(prosesi Yama dan Hoko pada tanggal 17 Juli)
- Ato
Matsuri (prosesi Yama saja pada
tanggal 24 Juli).
Yamaboko adalah
istilah untuk Yama dan Hoko. Yama adalah kendaraan beroda (float)
besar dari kayu dengan hiasan megah dan ditarik oleh banyak orang. Hiasan
kendaraan (kenshōhin) pada Yama berupa benda-benda keagamaan dan
benda-benda seni seperti karpet yang didatangkan dari Eropa
dan Tiongkok melalui Jalan Sutra.
Perdagangan dengan Dinasti Ming
mencapai puncaknya pada zaman Muromachi,
sehingga motif dari luar negeri banyak dipamerkan dalam Gion Matsuri.
Masing-masing Yama mempunyai tema yang biasanya merupakan cerita dongeng yang
berasal dari Tiongkok.
Hoko adalah
jenis Yama dengan menara menjulang tinggi yang di ujung paling atasnya terdapat
hoko (katana
dengan mata di dua sisi) walaupun ada juga Hoko yang tidak bermenara. Hoko juga
dijadikan panggung untuk kelompok orang berpakaian Yukata
yang terdiri dari pemain musik Gionbayashi dan peserta yang berkesempatan naik
karena memenangkan undian hasil membeli Chimaki atau Gofu (semacam jimat).
Musik Gionbayashi yang menurut telinga orang Jepang berbunyi
"Kon-chi-ki-chin" baru menjadi tradisi Gion Matsuri pada zaman Edo.
b)
Tenjin
matsuri
Perayaan Tenjinmatsuri dimulai pada tanggal 1 Juni tahun 951. Pada saat itu,
perayaan dibuka dengan ritual menghanyutkan kamihoko (pedang dengan mata
di kedua sisi) di sungai Ōkawa. Lokasi perayaan ditentukan berdasarkan tempat
tersangkutnya kamihoko yang dihanyutkan air sungai. Penghanyutan kamihoko
merupakan asal-usul ritual Hokonagashi yang dilakukan sampai sekarang ini.
Puncak perayaan berupa prosesi perahu berasal dari ritual Hokonagashi yang
menentukan lokasi perayaan di tengah sungai.
Dalam sepanjang sejarah agama Shinto, matsuri
merupakan hala yang amat penting. Kehidupan yang soleh dan taat adalah Matsuri
dan hiddup itu sendiri sama dengan matsuri. Upacara-upacara keagamaan juga
disebut matsuri. Oleh karena didalam pemikiran bangsa jepang lama kehidupan
politik harus mengikuti keinginan para dewa, maka tidak ada pemerintahan tanpa
matsuri. Dari sini timbul konsep Saise-itchi yaitu konsep kesatuan
antara agama dan Negara ; dan matsuri-goto,
yang berarti pemerintahan, adalah
sinonim dari kata matsuri.
Sebagai
suatu festival keagamaan, dunia matsuri sangat banyak, yang secara garis besar
dapat dibedakan menjadi 4 macam :
·
Haru-matsuri
– festival musim semi – yang bertujuan memohon rahmar dewa agar mendapat panen
yang melimpah.
·
Aki-matsuri
– festival musim gugur – sebagai pernyataan terimakasih pada dewa atas hasil
panen yang diperoleh.
·
Reisai –.
festial tahunan yang diselenggarakan pada bulan-bulan tertentu
·
Shinko-shiki – festival arak-arakan
dewa, yaitu untuk memuja dewa tertentu agar memperoleh keselamatan dari
berbagai macam penyakit.
Kesucian dan kebersihan, adalah suatu hal yang
sangat penting. Atas pengaruh ajaran kebersihan atau kesucian ini, maka soal
mandi termasuk perbuatan agama, sehingga dijadikan salah satu upacara
keagamaan.
Kehidupan manusia sejak lahir hingga meninggal dunia
dibagi menjadi beberapa tingkatan. Perpindahan dari satu tempat ke tempat
lainnya dianggap sebagai masa peralihan yang mengandung bahaya tertentu. Oleh sebab itu, perpindahan tersebut biasanya
diikuti oleh upacara-upacara. Yang terpenting diantaranya ialah :
1. Upacara Masa Kanak-Kanak
2. Upacara Usia Dewasa
3. Upacara Perkawinan
4. Upacara Usia Lanjut
5. Upacara Kematian
E.
KITAB SUCI AGAMA SHINTO
Dalam agama Shinto ada dua kitab suci yang tertua,
tetapi di susun sepuluh abad sepeninggal jimmi temmo (660 SM), kaisar jepang
yang pertama. Dan dua buah lagi di susun pada masa yang lebih belakangan,
keempat empat kitab tiu adalah sebagi berikut :
A. Kojiki
- yang bermakna : catatan peristiwa purbakala. Disusun pada tahun 712 masehi,
sesudah kekaisaran jepang berkedudukan di nara, yang ibukota nara itu di bangun
pada tahun 710 masehi menuruti model ibukota changan di tiongkok.
B. Nihonji
- yang bermakna : riwayat jepang. Di susun
pada tahun 720 masehi oleh penulis yang sama degan di Bantu oelh seorang
pangeran di istana.
C. Yeghisiki
- yang bermakna : berbagai lembaga pada
masa yengi, kitab ini disusun pada abad kesepuluh masehi terdiri atas 50 bab.
Sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah kisah yang bersifat kultus,
disusuli dengan peristiwa selanjutnya sampai abad kesepuluh masehi, tetapi inti
isinya adalah 25 norito yakni do’a do’a pujaan yang sangat panjang pada
berbagai upacara keagamaan.
D. Manyosiu
- yang bermakan : himpunan sepuluh ribu
daun, berisikan bunga rampai, yang terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara
abad kelima dengan abad kedelapan masehi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar